SETIAP jelang pemilihan gubernur di Lampung, isu membangun jembatan Selat Sunda kerap muncul menjadi isu gorengan di antara kontestan. Tak jarang dalam alat sosialisasi mereka ditampilkan pula gambar desain jembatan yang menghubungkan Sumatera-Jawa. Tapi usai pesta demokrasi, cerita ini selalu redup.
Era Gubernur Lampung Sjahroedin ZP dan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, begitu gencar dibahas soal rencana pembangunan jembatan Selat Sunda. Entah sudah berapa kali diilakukan studi kelayakan dengan anggaran besar.
Konon zaman Orba studi kelayakan jembatan Selat Sunda kerap dilakukan, tapi redup juga seiring waktu berjalan. Terakhir, Jokowi menyebutkan anggaran proyek ini terlalu besar. Tidak strategis, apalagi dikaitkan keberadaan Gunung Anak Krakatau, yang sewaktu-waktu bisa mengancam.
Lagian, kalau dipikir-pikir, mana mungkinlah para pemilik kapal feri yang notabene orang-orang besar di negeri ini rela jika di Selat Sunda dibangun jembatan. Mau dikemanakan kapal roro mereka. Di Indonesia, penyeberangan Merak-Bakauheni merupakan satu di antara 10 pelabuhan terpadat di Indonesia.
Tak heran muncul kesan isu pembangunan jembatan Selat Sunda hanya gorengan politik saja. Itu pulalah mungkin yang ada dibenak masyarakat Madina jika bupati atau wakil bupati di daerah ini membicarakan mengenai pembangunan bandara di Bukit Malintang.
Apalagi wacana dan proses pembangunan bandara sudah berlangsung sejak Amru Daulay, bupati pertama Madina. Era Bupati Dahlan Hasan Nasution, proses ini terus bergulir.
Masa Dahlan Hasan mulai timbul pesimis. Silih berganti pejabat provinsi dan pusat datang ke lokasi, tapi terkesan hanya memberi harapan. Itu jugalah sebabnya ada sebutan “Bandara Insyaallah” terhadap proyek ini.
Sampai pada era Jafar Sukhairi, pembangunan bandara masih berproses, termasuk soal ganti rugi. Masyarakat pun kian pesimis.
Di Indonesia bukan tak ada bandara yang sudah jadi sekalipun, gagal beroperasi atau “mati suri” akibat sepi penumpang. Sebut saja: Bandara Jenderal Besar Soedirman Purbalingga, Jateng; Bandara Kertajati di Cirebon, Jabar; Bandara Ngloram Cepu, Jateng; dan Bandara Wiriadinata Tasikmalaya, Jabar.
Pertama, soal isu miring mengenai pembangunan bandara diyakini bakal sirna setelah Kepala Kantor Unit Penyelenggara Bandara Udara (KUPBU) Aek Godang Yoga Komala mengatakan saat ini presentase pembangunan bandara sudah di atas 48 persen.
Ketika Ketua TP2D Madina Todug Mulya Lubis dan Jafar Sukhairi mengunjungi lokasi bandara, belum lama ini, sejauh ini tidak ada kendala berarti sehingga ditargetkan pada akhir tahun 2023 pesawat sudah mendarat. “Namun baru Maret 2024 kami rencanakan peresemiannya,” kata Yoga.
Dia mengatakan pada Desember 2023 pihak bandara itu sudah mulai melakukan desain operasional secara nasional hingga Januari 2023.
Kedua, soal penumpang. Kita tentu saja berharap nasib bandara yang bakal diberi nama Jenderal Besar AH Nasution ini tidak senasib dengan bandara lain di tanah air yang “mati suri”. Kalau sekadar mengandalkan calon penumpang dari Madina, rasanya berat.
Pemkab dan Pemprovsu harus mempersiapkan infrastruktur jalan agar akses menuju bandara lebih mudah.
Dikutip dari komentar Muhammad Idris Lubis di akun facebook: Narisya Batik Mandailing, alumni ITB Bandung yang pernah bekerja sebagai kepala Balai Litbang Sistem dan Teknik Lalu Lintas di Kementerian PUPR RI, ini menyebutkan kunci utama membuka keterisolasian Madina adalah aksesibilitas dan konektivitas.
Dua kata itu hanya dapat diwujudkan melalui pembangunan Infrastruktur yang saling terintegrasi. Dari dulu Muhammad Idris mengkritisi dua hal ini, bahkan pernah mengulas maslaah ini secara khusus.
Diperlukan seorang pimpinan visioner yang mampu mendisain kembali blue print pembangunan Madina hingga tahun 2050. Tidak cukup hanya visi lima tahunan, apalagi tidak pernah berpikir tentang konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Kita berharap dengan waktu yang tersisa sebelum Maret 2024, pemkab, provinsi dan tentu saja mengharap kucuran dana pusat, infrastruktur yang diperlukan bisa dibenahi.
Sibuhan (Palas) hanya berjarak sekitar 60 km dari Panyabungan. Namun, saat ini belum ada akses jalan sehingga warga Palas yang ke Panyabungan—demikian sebaliknya– harus lewat lintas timur Sumut berjarak 210 km atau waktu tempuh 6-an jam.
Jika jalur trans Palas-Madina Sibuhuan-Penyabungan dibuka, waktu tempuh menjadi sekitar 1,5 jam. Itu sekadar gambaran.
Dari segi progres pembangunan, kita boleh tidak ragu. Apalagi Jafar Sukhairi mengatakan tidak ada masalah lagi soal pembangunan bandara itu.
Kita berharap dengan terwujudnya Bandara Jenderal Besar AH Nasution, Madina makin maju dan sejahtera karena transportasi menuju Medan, Jakarta atau provinsi lain makin mudah.
Namun harapan itu hanya akan terwujud jika dari segi bisnis, pihak maskapai menganggap “burung besi” mereka layak landing, lalu take-off atau terbang landas dari sini dengan membawa banyak penumpang .
Semoga Bandara Jenderal Besar AH Nasution terwujud, dan goodbye Bandara Insyaallah.. (*)