BERBAGI
Dahlan Hasan Nasution (foto: istimewa)

TULISAN ini saya mulai dengan tembang lawas Ahmad Djais. Liriknya antara lain:

Layulah sudah bunga dahlia, Nasib bunga tiada lama, Bila gugur kau tiada guna, Bila layu kau tak berharga…

Kau mekar banyak yang memuja, Bila layu dikau tak berharga, Sadarlah wahai bunga…

Sungguh luar biasa makna yang tersirat dari lagu tersebut.  Jika sekuntum bunga mekar dan menyebar wewangian, pasti banyak orang memuja. Ia seperti magnet, menarik perhatian semua orang.

Sebalikanya, jika sang bunga telah layu dan gugur, jangankan melihat, menoleh pun orang tak sudi. Disapu, lalu dimasukkan ke bak sampah. Disapu, lalu dibakar.

Entah kenapa ketika membaca syair lagu tersebut, terbayang wajah Bupati Mandailing Natal (Madina), Sumut H. Dahlan Hasan Nasution.  Aneh memang, padahal saya tak kenal dia secara dekat,  tentu saja dia juga tak mengenal saya karena saya bukanlah siapa-siapa. Bukan tipe “penjilat”. Apakah ini bagian euporia saya atas kekalahannya pada Pilkada Madina 2020, wallahu aqlam bissawab.

Meskipun hanya paham wajah Dahlan Hasan—selanjutnya ditulis DH, tapi sedikit banyak saya tahu tentang bupati yang masa jabatannya bakal berakhir 30 Juni 2021. Itu wajar, sebab dia seorang publik figur. Pernah menjabat wakil bupati Madina sekitar dua tahun, lalu jadi bupati di kabupaten yang sama delapan tahun.

Namanya publik figur, tindak-tanduk DH selalu jadi perhatian masyarakat, termasuk saya yang berprofesi jurnalis. Tutur kata, gaya bicara, dan mimik wajahnya pun tak luput dari perhatian masyarakat. Bagaimana gestur wajahnya ketika tak suka melihat seseorang, orang-orang tertentu sudah paham.

DH bisa dengan mudah meneteskan air mata, untuk menarik simpatik orang. Dia juga acap berakting seolah seperti menelepon seseorang untuk kepentingan tertentu, tapi belum tentu telpon itu terhubung.

Ah, pokonya banyak cerita menarik tentang DH. Bahkan, terlalu panjang jika kita urai satu per satu dengan kata-kata mengenai sisi-sisi baik, dan buruk sang kepala daerah ini yang gemar membangun taman ini.

DH pernah viral se-jagat negeri ketika membuat surat pengunduran diri sebagai bupati Madina kepada presiden gegara suara Jokowi kalah telak di daerah ini pada pilpres lalu.

Memang DH sosok yang sangat pandai merangkai kata untuk menyampaikan sesuatu diinginkan.  Tak heran, sekelas presiden pun “takluk” oleh kepiawaiannya tersebut.

Buktinya, DH bisa meyakinkan Presiden Jokowi melakukan peletakan batu pertama pembangunan asrama haji Madina pada, Sabtu (25/3-2017), padahal anggarannya belum ada. Sadarkah DH dia sudah “menojok” muka presiden? Tak taulah.

Yang jelas, sampai masa jabatan DH berakhir nanti, dipastikan asrama haji yang rencannya dibangun di sekitar Masjid Agung Nur Alannur, Panyabungan tidak bakal menjadi kenyataan. Bahkan belum ada “peletakan batu kedua”.

BERITA TERKAIT  Penjelasan Bu Atika Soal Keberadaan Tim Investigasi, “Menggelikan”

Padahal selain kepala negara, pada kesempatan itu hadir antara lain pejabat tinggi negara: Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Kesehatan Nila Moeloek, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki. Hadir juga Gubernur Sumut (saat itu) Tengku Erry Nuradi.

Berdasarkan bincang-bincang dengan banyak pihak yang kebenarannya diyakini, saya dapat simpulkan suami Ika Desika tak hanya pandai bersandiwara. Lihai acting, bak aktor beraksi di depan kamera. Tetapi ia juga sosok pemimpin yang sombong serta angkuh atas kekuasaannya.

Dikala memimpin, DH seolah lupa ada sang Khalik yang tak pernah tidur melihat tingkah  serta perbuatannya. Ia larut menggenggam kekuasaan dimiliki. Bertindak seolah semaunya, dan tak jarang berani menabrak aturan. Mungkin dalam benaknya, jika ada masalah, urusan belakangan.

ASN  dan pihak-pihak tertentu yang selalu mengelilingi DH adalah tipe-tipe yang pandai menyanjung, memuja dan menyenangkan hatinya. Bahasa kasarnya, mereka yang pandai “menjilat”. Soal kualitas SDM (sumber daya manusia), itu tidak menjadi tolok ukur untuk diberi kepercayaan memegang jabatan.

DH bukalah figur yang mau dikoreksi, apalagi dikritisi. Kharismanya sebagai pemimpin sangat pas-pasan, dan minim sikap kenegarawan.

Jika seseorang tidak ia suka, ia pakai kekuasaan untuk membalas ketidaksenangan tersebut. Saya ingat betul, ketika ada pemberitaan Malintang Pos tidak berkenan di hatinya, lantas dia perintahkan semua dinas/instansi berhenti berlangganan koran tersebut.

Para pejabat pun mau tak mau harus taat. Mereka jadi takut menerima wartawan Malintang Pos untuk keperluan wawancara, konfirmasi, bahkan sekadar bertegur sapa saja mereka sudah was-was karena khawatir ada yang melapor.

Siapa saja yang tak berkenan di hatinya, dimusuhi. Kalau bisa, “dipencet” habis, dan dinonjobkan sepanjang dia jadi bupati. Telinga DH sangat “tipis”. Banyak pejabat atau masyarakat menjadi korban akibat “bisikan” orang-orang tertentu.

Suatu saat saya ditelepon Ika Desika. Istri bupati menanyakan apakah betul saya dalang dan membiayai unjuk rasa soal Taman Raja Batu (TRB) dan Tapian Siri-siri Syariah (TSS) di Kejatisu. Karena tidak tahu-menahu soal itu, saya sampai bersumpah membantah fitnah tersebut.

BERITA TERKAIT  Banyak Kejanggalan, Perayaaan HUT ke-78 RI di Madina (Mungkin) Paling Unik se-Indonesia?

Bahkan saya katakan, si koordinator demo tidak saya kenal, dan dia juga pasti tidak kenal saya. Karena bisikan sang gurita sudah mengenai sasaran, alhasil DH pun (mungkin) telan mentah-mentah informasi itu.

DH merupakan tipe pemimpim arogan. Jika sudah pendapatnya, sulit dibantah. Alhasil, nyaris tak seorang pun orang-orang di sekililingnya berani menolak setiap perintahnya, mengkritik, apalagi menegor.

Kalau ada di antara mereka nekat membantah, apalagi ia seorang aparatur sipil negara (ASN berjabatan, siap-siaplah terpental.

DH suka menabur kebencian dan dendam terhadap siapa saja yang tak disuka. Kerap menyatakan yang tak sebenarnya—kalimat halus dari suka berbohong–, acap mengumbar janji, bibirnya biasa bersumpah dengan kalimat: wallahi watallahi.., dan tak jarang saat marah menyebutkan nama-nama penghuni kebun binatang.

Saya tak habis pikir ketika suatu acara DH mengatakan ia bupati termiskin di dunia.  Ia juga kerap menyebutkan, tak pernah menerima uang dari pemborong.

Suatu saat seseorang menemui DH di ruang kerjanya dalam rangka mengantar undangan. Di ruangan itu ada sejumlah pejabat. Setelah bincang-bincang ngalor-ngidul, DH menyebutkan ia tidak pernah menerima uang dari pemborong.

Ison bo bahat kadis (kepala dinas). Apa saya pernah terima uang dari pemborong?” tanya DH kepada para pejabat itu.

“Tidak pak,” jawab mereka seperti dikomando.

Sang pengantar undangan yang saat itu pejabat eselon tiga di salah satu dinas/instansi hanya tersenyum. “Emang semudah itu saya dibohongi,” ujar ibu berdarah raja dari salah satu kecamatan di Madina, itu kepada saya.

Itulah sekilas mengenai sosok DH, bupati yang menurut banyak orang diangkat derajatnya oleh seorang pengusaha dari “kubangan lumpur”, namun ia lupa bersyukur atas nikmat-Nya. Saya sendiri tak mengerti arti ucapan orang tersebut.

Bak syair lagu di atas, DH sudah mulai “layu”. Jika sudah “layu”, tiada guna lagi. Tak ada lagi nanti yang memuja, menyanjung, “menjilat”, bahkan mereka bakal menjauh.

Semoga Pak Sukhairi menjauhi hal tak baik dari sosok DH, cukup terima “warisan” yang baik-baik saja—kalau ada– supaya orang banyak selalu mendoakan kepemimpinan Sukhairi-Atika…

BACA JUGA: Terkait Tulisan Opini Tentang Dirinya, Dahlan Hasan Nasution Sampaikan Hak Jawab

Akhiruddin Matondang

BERBAGI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here