Jenderal Abdul Haris Nasution Dibentuk oleh “Aroma” Kampung Hutapungkut

BERBAGI

Oleh: Askolani Nasution

RANTAU bagi orang Mandailing adalah puncak kemampuan menaklukkan alam ketika orang disebut pistar. Itu juga yang dilakukan Williem Iskandar pada masa awal kolonialisme, merantau, lalu mulak tu huta membangun sekolah terbaik di Sumatera.

Simpul-simpul budaya menjadi penting karena berasumsi bahwa karakter seseorang tidak tumbuh tanpa balur sosial. Orang tidak dibentuk begitu saja tanpa bumbu kehidupan sosial huta. Dalam kebudayaan Mandailing disebut dengan falsafah “tubu unte, tubu dohot durina.”

Masa kecil Jenderal Besar Dr. Abdul Haris Nasution atau yang akrab disapa Pak Nas, dijalani sejak lahir 1918 di Desa Hutapungkut, (sekarang secara administrasi masuk wilayah Kecamatan Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumut).

Tahun 1925, ketika usianya tujuh tahun, ia masuk HIS Kotanopan, dan lulus 1932. Artinya, sampai usia 14 tahun, ia berada di Kampung Hutapungkut. Lalu ditambah tiga tahun di Sekolah Raja, Bukit Tinggi.

Dalam periode tertentu, beliau tetap pulang dan bersinggungan dengan konteks Kampung Hutapungkut. Dengan begitu pertumbuhan intelektual, pemikiran, sikap, ingatan, obsesi, dan lain-lain dari Pak Nas, akan sangat naif jika mengabaikan faktor-faktor sosial budaya di Kampung Hutapungkut.

Hutapungkut menjadi desa yang amat penting, karena menjadi latar sosial masa kecil tokoh-tokoh besar republik ini, seperti Adam Malik dan beberapa Perintis Kemerdekaan yang mengalami pembuangan di Digul, Papua. Mereka yang sezaman dengan Pak Nas, antara lain:  Buyung Siregar, Muhidin Nasution, Ilyas Yusuf, dan Abu Kosim Dalimunte.

Hutapungkut juga menjadi basis perjuangan perintis kemerdekaan lain seperti H. Mahals, M. Yunan Nasution, Ahmad Nasution, dan KH. Achmad Nasution yang sama-sama menjalani penjara kolonial dengan Soekarno di Sukamiskin, Bandung. Dengan begitu, Hutapungkut bukan desa biasa pada masa kolonial Belanda.

BERITA TERKAIT  Selamat Jalan Bripka Doni...

Secara geografis, Hutapungkut memanjang di sisi Aek Pungkut yang bermuara ke Sungai Batang Gadis, sungai yang legendaris sejak masa Hindu Budha Klasik.

Rumah-rumah penduduk memanjang pada tanah perkampungan berbentuk tebing. Penduduknya berkebun kopi, huma, dan banyak menjadi pedagang penting yang berdagang ke Padangsidimpuan, Sibolga, Bukit Tinggi, dan Padang.

Pada masa itu, ayah Pak Nas juga seorang pedagang. Beliau memiliki truk, dan sesekali membawa Pak Nas ikut berdagang. Dengan begitu, Pak Nas jauh dari gambaran keluarga tidak mampu pada zamannya. Beliau bisa jadi lebih melarat setelah pensiun dari berbagai tugas.

Haris kecil tetap menjalani kehidupan masa kanak-kanak sebagai mana anak-anak lain di kampung. Mandi di sungai, main bola di lahan huma yang baru di panen pakai bola buah jeruk, melompat dari tebing yang tinggi ke sungai, makan jambu klutuk di hutan, berlari naik turun tebing, dan lain-lain. Beliau juga bercerita tentang Gunung Sijanggut yang menjadi tempat bermainnya.

Artinya, Pak Nas mengenal betul kehidupan kampung yang kelak menguatkan pemahamannya tentang perang grilya yang digagasnya.

Sekolahnya, HIS Kotanopan, menjadi sekolah penting di masa awal kolonialisme di Mandailing. Bahasa pengantar adalah Bahasa Belanda, dengan guru-guru yang luar biasa dan perpustakaan yang lengkap.

Haris kecil setiap hari menempuh perjalanan ke sekolah yang jaraknya sekitar enam kilometer dari Hutapungkut. Jalan itu dilaluinya setiap hari, bahkan sambil berlari-lari. Bahkan naik turun dari rumah ke pinggir jalan juga dilakukannya dengan berlari. Karena itu, long march Siliwangi yang menempuh jalan kaki ratusan kilometer bukan hal sulit dilakukannya pada masa perang kemerdekaan. Kata orang Mandailing: inda ajaron unte marduri.

Di sekolah, Pak Nas kecil menyukai dua pelajaran penting: Ilmu Bumi dan Sejarah. Dua pelajaran itu amat mendukung bagi pengetahuan militer dan wawasan kenegarawannya kemudian hari.

BERITA TERKAIT  Bekas “Mainan” Dongpeng Itu pun Telan Korban, 12 Kaum Ibu Tewas 4 Hari Jelang Idul Fitri

Guru favoritnya selama di HIS adalah M. Kasim, tokoh pelopor Cerita Pendek Indonesia pada masa Balai Pustaka. Haris menyebut bahwa selain M. Kasim pandai bercerita, anak-anak juga berlatih bercerita setiap hari. Cerita-cerita terkenalnya yang diturunkan secara lisan adalah Sibisuk Na oto.

Cerita itu mengajarkan lebih pentingnya kecendikiawanan daripada kepintaran. Jadi saya tidak heran, ketika buku-buku yang ditulis Jenderal Nasution, juga disajikan dengan gaya bercerita yang menarik.

Kisah-kisah heroik revolusi Perancis, Napoleon Bonaparte, juga diperolehnya masa HIS. Dalam biografinya, Pak Nas menyebut ada dua hal yang mempengaruhi pemikirannya dari buku itu: 1) Pentingnya peranan militer untuk melancarkan perjuangan bangsa, 2) Indonesia suatu waktu akan berperang dalam pergolakan bangsa-bangsa lain. Maksud saya, pertumbuhan intelektual Pak Nas sudah dibentuk jauh sebelum merantau.

(Disampaikan pada Seminar Nasional: Nilai-Nilai Perjuangan Abdul Haris Nasution yang diadakan Ikanas Sumut dalam rangka Peringatan Satu Abad Jenderal Besar AH. Nasution, di GSG, Panyabungan, Madina Kamis, 13 Desember 2018).

 

BERBAGI

1 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here