KASUS narkoba di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara benar-benar luar biasa. Aparat terkesan tidak mampu “menyapu” habis peredaran barang haram itu di daerah ini.
Bahkan, pada Rabu lalu (3/10-2018), polisi masih menemukan tujuh hektare ladang ganja di Tor Aek Gorsing, Desa Aek Nabara, Panyabungan Timur, Madina. Penemuan ladang ganja di kabupaten ini sudah hal biasa, namun warga seakan tak jera menanam, mengedarkan dan memakai “daun setan” ini.
Cerita soal narkoba di Madina seolah tak pernah berakhir. Sebagai contoh, saat ini ada sekitar 36 warga Kelurahan Panyabungan III (selanjutnya disebut Banjarsibaguri), Kecamatan Panyabungan, Madina berada di Lembaga Pemasyarakatan (LP) karena tersangkut kasus narkoba.
Raihan jumlah tahanan narkoba asal Banjarsibaguri mungkin rekor terbanyak dibanding kelurahan lain di Madina. Kenapa sampai sebanyak itu? Tentu saja sulit menjawabnya.
Banjarsibaguri berada di pusat ibu kota kabupaten. Dari arah utara berbatasan dengan Aek Mata (Kelurahan Kayujati), Kota Siantar (timur), Panyabungan II (selatan), serta jalinsum pusat kota atau Madina Square (barat).
Penduduk Banjarsibaguri sangat heterogen. Selain orang Mandailing, ada minang, sunda, jawa, “balikan”, dan lainnya. Daerah ini dari dulu selalu tenang, tenteram, serta nyaris tidak ada gejolak antarwarga.
Jika menyebut asal dari Banjarsibaguri , secara tidak langsung mengatakan kita “orang pasar”. Artinya kita tinggal di pusat kota Madina, karena sebagian daerahnya berada di pusat Kota Panyabungan.
Dulu pedagang di Pasar Lama Panyabungan banyak warga Banjarsibaguri. Penjual kain, sayuran, keperluan rumah tangga, bahkan toko-toko yang ada di sekitar “balerong” banyak di isi orang Banjarsibaguri.
Demikian juga “pargajul” (sebutan pengurus angkutan umum) yang ada di Pasar Panyabungan, banyak berasal dari Banjarsibaguri. Meskipun identik orang lapangan, tapi dulu jarang terdengar mereka terkait kasus narkoba.
Paling para “pargajul” mabuk tuak setelah mereka masuk “pakter” (warung tuak) di seberang Aek Mata. Ini pun jumlahnya tidak banyak, tak lebih 10 orang.
Pada era 1990-an narkoba mulai merasuk kaum muda Banjarsibaguri. Jika ditelusuri lebih dalam, saat itu sebagian “pemain” antara lain mereka yang berprofesi sebagai kru truk dan bis antarlintas Sumatera berumur di atas 35 tahun.
Belum ada keterlibatan remaja, apalagi anak-anak. Ini bisa jadi disebabkan kegiatan olahraga pada masa itu masih marak. Memang sejak dulu, Banjarsibaguri tak kalah di bidang olahraga. Lapangan bulutangkis lebh dari tiga. Bahkan, sejak era 1970-an, sudah terkenal Lapangan Bulutangkis Garuda.
Lalu, pada era 1980-1990-an, lapangan bola voli juga banyak. Paling terkenal, lapangan voli Grogol Two.
Lapangan sepakbola banyak, meskipun tidak memenuhi standar. Sebut saja di tepi proyek irigasi, yang sekarang jadi jalan lintas timur. Ada juga di belakang SMK Negeri 2 Banjarsibaguri (dulu: Sekolah Teknik Negeri), di seberang aek mata, dan dulu banyak areal tanaman pohon kelapa bisa dipakai bermain sepak bola. Sekarang semuanya sudah jadi areal permukiman penduduk.
Alhasil anak-anak serta para pemuda tidak bisa lagi melakukan kegiatan postif mengisi waktu luang. Dikala senggang, mereka habiskan waktu “nongkrong” di tempat-tempat tertetu, yang pada akhirnya tidak menutup kemungkinan muncul niat tidak baik.
Inilah mungkin salah satu pemicu maraknya pengguna narkoba. Mereka yang ditangkap bukan saja sebagai pemakai, sebagian di antara pengedar.
Ironisnya, ada yang keluar masuk penjara sampai empat kali. Bahkan baru tiga bulan mengirup udara bebas, dengan kasus yang sama, dia sudah masuk LP lagi.
Kalau keluar-masuk LP dua kali, sudah hal biasa. Ada ayah dan anak punya tabiat serupa, yaitu pemakai atau pengedar narkoba.
Suatu saat saya sedang belanja di sebuah warung di Banjarsibaguri. Sembari menunggu uang kembalian, seorang anak umur sekitar 9 tahun datang ke warung, ”Etek, adong do lem (Bi, ada lem gak)?,” tanya si bocah.
“Gak ada,” jawab pemilik warung. Mendengar jawaban itu, saya bingung karena saya lihat di etalase ada lem.
“Lo, itu ada lem,” kata saya ke pemilik warung setelah anak itu pergi.
“Lem Aibon dei maksud nia (Maksud dia lem Aibon-red),” sebut pemilik warung.
Saya kaget. Tetapi itulah potret sebagian generasi Banjarsibaguri masa kini. Berawal dari merokok, “ngelem”, dan ketika ada kesempatan mereka coba narkoba, biasanya jenis ganja.
Saya tidak bisa menyebutkan apakah hal ini disebabkan begitu mudah mendapatkan ganja di kampung ini atau disebabkan tingginya angka pengangguran.
Jika dikorelasikan dengan angka pengangguran, mestinya jumlah pengedar justru yang bertambah. Sementara pemakai berkurang akibat daya beli berkurang. Kecuali, mereka yang pengedar sekaligus sebagai pemakai.
Miris melihat ketika sang ayah menjalani proses hukum, keluarga mereka susah. Anak serta istri harus banting setir agar bisa bertahan hidup. Apalagi umumnya mereka bukan kelompok “mampu”, bahkan kebanyakan kategori miskin.
Kita tidak tahu kenapa proses hukum yang dijalani tidak menimbulkan efek jera. Mestinya hal ini perlu dikaji, sebab jika seseorang yang sudah menjalani pidana, ternyata perbuatannya terulang kembali, berarti hukuman atau pembinaan yang dilakukan di LP bisa disebut gagal.
Karena itu, tokoh agama, masyarakat, adat, dan pemuda perlu duduk bersama mencari solusi agar tidak ada lagi warga Banjarsibaguri, khususnya, terjerat narkoba. Perlu dimusyawarahkan untuk menentukan langkah yang akan dilakukan.
Misalnya bisa membentuk kelompok kerja melibatkan berbagai kalangan di kelurahan. Program kerjanya, antara lain: sosialisasi dampak narkoba, siraman rohani, dan jika perlu dirumuskan sanksi adat.
Persoalan narkoba jangan dianggap sepele. Kita tidak boleh mengatakan, “Itu kan urusan dia.” Jika pemuda sudah kecanduan narkoba, memungkinkan tingkat kejahatan meningkat. Lalu, korban dari kejahatan itu tidak menutup kemungkinan kita sendiri.
Jumlah 36 bukanlah angka sedikit. Jika tidak ada upaya kongkrit, tidak menutup kemungkinan angka tersebut bertambah. Kita bukan tidak percaya aparat hukum, tapi mereka juga punya keterbatasan.
Sekarang yang terlibat narkoba masih orang lain, namun siapa bisa jamin besok, lusa atau masa mendatang justru yang diborgol ke kantor polisi keluarga kita.
Perlu upaya nyata. Tidak bisa berpangku tangan. Juga tidak boleh pesimis, dengan mengatakan, “Ngara i.” Jika belum apa-apa sudah mengumandangkan, “ngara i,” berarti semangat untuk melakukan sesuatu sudah terlebih dulu pudar.
Justru sebaliknya, tanamkan optimisme. Jika tidak, orang Banjarsibaguri dimana pun berada, tentu tidak akan bangga lagi jadi orang kampung ini. Imejnya rusak, sama hal nama sejumlah desa atau kampung yang sudah tercoreng akibat tindak kejahatan yang sering dilakukan warganya.
Perlu keterlibatan semua pihak, terutama kelompok naposo dan nauli bulung. Tentu kita tidak mau disebut Banjarsibaguri “sarang” narkoba. Sebab itu sebelum gelar disematkan, perlu ada upaya nyata dari elemen masyarakat.
Ini pun jika kita masih ingin bangga jadi “halak” Banjarsibaguri. Ah..kampung kelahiranku, riwayatmu kini….!!
(akhiruddin matondang)