SAAT mau pulang usai menyaksikan PSU (pemungutan suara ulang) di Desa Kampung Baru, Kecamatan Panyabungan Utara, Madina gerimis turun.
Alhamdulillah. Dalam hati: semoga hasil pilkada ini membawa kebaikan dan berkah bagi masyarakat Madina. Udara menyengat sebelumnya, berubah sejuk.
Hati mereka yang ikut memilih SUKA pun kian adem, sebab sebelumnya sempat beberapa kali terjadi ketegangan antara warga yang tidak bisa masuk TPS dengan Bawaslu.
Aku masih berteduh di teras rumah warga–seberang jalan TPS. Gerimis tak kunjung reda. Aku dan seorang kawan, sepakat menerobos rintik hujan mengendarai sepeda motor. Pertimbangan parkir susah dan jaga-jaga kemungkinan chaos, merupakan alasanku kenapa naik kendaraan roda dua ke desa itu.
Sampai di rumah aku kedinginan. Sudah mandi air hangat pun, tetap tak mempan mengusir rasa dingin. Perasaan kian tak menentu. Aku duduk di sofa ruang tengah rumah, sembari minum secangkir kopi.
Bingung. Kenapa aku kedinginan. Padahal sudah biasa siang malam kerja di lapangan. Hujan dan terik bagiku biasanya tak pernah menjadi masalah.
Kalau aku sedang “gila”—kata orang aku direktur “gila”, sudah biasa kerja siang dan malam. Udara malam menusuk tubuh, tak membuatku kedinginan. Hujan petir, tak dihiraukan. Apalagi jelang pengangkatan direktur, aku begitu semangat, tidak pandang waktu. Tentu tidak lupa dipublikasi supaya pimpinan pusat tahu aku ingin memajukan perusahaan.
Karena bisa mengerjakan jembatan dalam satu malam, sampai ada orang menyebutku seperti Sangkuriang, yang bisa mengerjakan perahu dalam satu malam.
Kenapa pikiranku tiba-tiba ngelantur. Apakah ini yang disebut anak muda: galau. Pikiran kian tak menentu, campur gelisah. Badan terasa hangat, tapi kok kedinginan. Lama-lama justru menggigil.
Tiba-tiba ingat resep menghangatkan tubuh: sereh, jahe, lalu kasih gula merah dikit. Ramuan itu direbus dengan tiga gelas air, sampai tersisa segelas.
Air rebusan jahe kuminum. Berselang beberapa saat, rebahkan tubuh di sofa. Waktu menunjukkan pukul 21.30. Kupejamkan mata, tak bisa.
Aku merasa sedih bercampur galau. Jika ingat atau bayangkan sesuatu, jantungku berdetak kencang. Baru kali ini merasakan tak ada orang di sekitarku. Biasanya para anak buahku, rekan-rekan pemburu proyek selalu berada di sekelilingku. Dimana aku berada, mereka buru, sekalipun hanya sekadar setor muka.
Sekalipun mereka kuajak main kartu sampai subuh, tak ada berani menolak. Mereka rela tinggalkan istri seorang diri di rumah, tak protes. Terkadang dibenak muncul pikiran: mungkin ada di antara istri anak buahku sedang mengharap kehangatan malam, tapi justru suaminya sedang menemaniku.
Ah, gak ada urusan, yang penting aku senang, pikirku. Siapa pandai menjilat, kukasih jabatan. Kukasih proyek. Mereka pun harus tahan kubentak.
Pintar, kinerja bagus, dan mampu melaksanakan tugas dengan baik, bagiku belum tentu suatu tolok ukur menilai seorang pegawaiku. Panda menjilat dan setoran bagus, itulah hal terpenting.
Terkadang aku bingung. Kok kumarahi dengan menyebut nama-nama hewan di kebun binatang, mereka tetap saja loyal.
Aku tak tahu apa yang ada dalam benak mereka. Tapi yang jelas, mereka takut kehilangan jabatan. Itulah senjataku. Sehingga apa kataku, mereka menurut. Harga diri mereka kucabik-cabik pun, tak ada yang melawan.
Kekuasaanku di perusahaan cukup besar. Aku bisa pindahkan orang semaunya. Aku angkat stafku dari kroni dan keluarga pun tak ada protes. Padahal mereka yang dikasih jabatan belum tentu kompeten pada jabatannya.
Aku bisa non-jobkan setiap pegawaiku yang tak kusuka, tanpa prosedur. Aku bisa tentukan orang dapat proyek atau tidak, dan aku bisa melarang pegawaiku supaya tidak belanja di suatu tempat, lantaran aku tidak suka pemiliknya, itu sudah biasa.
Lihatlah, begitu banyak pejabat “terbuang” karena mereka tak dukung aku jadi direktur. Salah sendiri, kenapa mereka tak pandai menjilat setelah proses pemilihan direktur selesai.
Suatu waktu aku berpikir. Kenapa aku jadi direktur. Apa prestasiku. Ibadah pun kurang, bahkan Ramadan seperti sekarang aku tak puasa, suka berbohong, doyan sumpah dengan menyebut nama Tuhan, telinga tipis menerima laporan para penjilat, bahkan kinerjaku nyaris tak ada yang tuntas.
Banyak pekerajaan yang aku janjikan dapat memajukan perusahaan, tak terwujud. Setiap yang kusampaikan pada setiap sambutan, sebenarnya hanya di bibir saja.
Apalagi dihadapan pimpinan pusat, aku cuap-cuap apa saja mengenai rencana-rencanaku mereka manggut-manggut saja.
Tentu saja, selama mereka di kotaku, disambut meriah. Aku ulosi dan lainnya. Setelah itu, mereka tak tahu lagi apa yang aku omongkan.
Siapa tak percaya pada sang direktur, pikirku. Sering aku bohong, ini itu, semua diam saja. Aku bilang tidak punya uang lebih dari Rp100 juta, mereka percaya saja. Apalagi saya bersumpah dengan menyebut nama Tuhan. Mereka tak berpikir kalau aku banyak dolar.
Dikala peletakan batu pertama pembangunan kantor baru, aku bilang tahun depan kita sudah berkantor di bangunan ini. Sudah tiga tahun, belum juga ada wujud bangunannya, semua diam saja.
Tiba-tiba jam dinding berdetak kencang. Aku tersadar dari lamunan..
Kutarik selimut tebal, ac rumah aku matikan. Ramuan jahe ternyata tidak ampuh. Badan terasa kian menggigil, sementara tak seorang pun peduli lagi.
Apakah satu per satu mereka akan meninggalku…?
Akhiruddin Matondang