BERBAGI

BERBAGAI elemen masyarakat melontarkan harapan agar suatu saat Pemkab Mandailing Natal (Madina), Sumut memberikan penghargaan kepada almarhum H. Amru Helmi Daulay, mantan bupati dua periode dengan menabalkan namanya di salah jalan protokol yang ada di daerah.

Harapan itu mencuat melalui berbagai komentar dan postingan di medsos mengingat Amru Daulay—demikian ia biasa disapa—dianggap berjasa meletakkan pondasi pembangunan Madina usai daerah ini secara administrasi berpisah dari Kabupaten Tapanuli Selatan.

Tak ada manusia yang sempurna, demikian juga Amru Daulay. Namun, sejarah mencatat sejak diangkat Gubernur Sumut Tengku Rizal Nurdin sebagai penjabat bupati Madina, lalu menjabat bupati defenitif dua periode di kabupaten ini, dia dinilai pantas disebut sebagai bapak pembangunan Madina.

Tidak bermaksud mengecilkan kinerja bupati-wakil bupati pasca, Amru Daulay, hampir semua bangunan fisik yang ada pada saat ini merupakan buah karya era suami Hj. Yosma Dalimunthe.

Pada periode pertama (2000-2005) berpasangan dengan Masruddin Dalimunthe sebagai wakil bupati. Lalu, periode kedua (2005-2010), ia didampingi Hasyim Nasution, Amru Daulay berhasil membangun antara lain Pasar Baru Panyabungan, Madina Square, jalan lintas timur Panyabungan, Gedung Serba Guna di Desa Parbangunan, jembatan Aek Godang di Naga Juang.

Lalu, SLB (Sekolah Luar Biasa), STAIM Madina, dan SMA Negeri 2 Plus Panyabungan, jembatan Aek Godang Jalan Andi Hakim Nasution, dan kawasan perkantoran bupati Payaloting di Aek Godang.

Selanjutnya, Masjid Agung Nur Ala Nur Aek Godang; Stadion H. Adam  Malik di Desa Lumbanpasir, memulai rencana pembangunan Bandara Bukit Malintang, serta jalan jalur dua Kota  Panyabungan,  Kotanopan, dan Siabu.

Bidang sosial kemasyarakatan sebagai modal memimpin suatu daerah, Amru Daulay dinilai mampu menjalin hubungan harmonis dengan berbagai kalangan, seperti ulama, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, pemuda, dan elemen masyarakat lainnya.

Pada Senin malam (30/1-2023), saya bersama beberapa rekan yang mengetahui era kepemimpinan Amru Daulay bincang-bincang santai di salah satu tempat ngopi di Panyabungan.

Dari obrolan itu, kami mengira-ngira jika seandainya Pemkab Madina ada keinginan memberi suatu penghargaan kepada Amru Daulay, pantasnya nama putra pasangan Syekh Abdul Halim Hasan dan Hj. Sarifah Batubara itu ditabalkan dimana.

BERITA TERKAIT  Refleksi Akhir Tahun 2018 “Beritahuta.com”,  Bupati Mendukung, Awas Tersandung?

Kalau  untuk nama jalan, jalur mana yang pantas sebagai Jalan H. Amru Helmi Daulay. Dari sinilah, bincang-bincang inilah kami dapat suatu gambaran bahwa penataan nama jalan di Panyabungan dan sekitarnya membuat bingung.

Contoh, Jalan Merdeka, itu dari jembatan Aek Mata Pasar Lama ke utara, tapi tidak jelas sampai dimana. Demikian juga Jalan Williem Iskander, dari jembatan Aek Mata ke selatan, tidak jelas sampai dimana.

Jika tak salah, Jalan Williem Iskandar No. 1 adalah dulu toko minyak milik almarhum H. Ismail Borotan yang berada persis di pinggir Aek Mata—dekat jembatan, lalu kantor bupati lama, di Dalan Lidang, itu informasinya No. 11. Begitu jauh melompat. Ini sekadar gambaran saja.

Jalan Merdeka, jika disebut sampai jembatan Aek Rantopuran, Gunungtua, ternyata ada yang menyebutkan Polres Madina itu masuk Jalan Merdeka. Bahkan, lainnya mengatakan Mompang masuk jalan Merdeka.

Coba kita  klik google, alamat Polres Madina antara lain ditulis: Jalan Bayangkara Raya, Mompang Julu.

Sepanjang jalan lintas timur dari Titi Kuning (Dalan Lidang) hingga simpang tiga Panggorengan, Gunungtua—RM Makan Ladangsari (dulu)—adalah Jalan Jenderal Besar AH Nasution.

Sedangkan, dari SPBU Pasar Baru sampai RM Paranginan–lintas timur, yakni Jalan H. Abdul Malik. Satu lagi, ada Jalan Bakti ABRI di Kelurahan Panyabungan 2, dari lampu merah kantor Bank Sumut, entah sampai dimana.

Itu antara lain gambaran nama jalan di Panyabungan. Persoalannya, apakah nama-nama jalan tersebut, atau lainnya,  ditetapkan melalui keputusan bupati Madina setelah mendapat persetujuan DPRD setempat.

Mestinya kalau melalui keputusan bupati, tentu saja, dalam keputusan tersebut dijelaskan batas-batasnya. Nah, saat ini plang nama jalan juga sangat langka ditemukan di Panyabungan. Hal ini membuat masyarakat atau pendatang bingung jika hendak mencari alamat suatu rumah atau kantor.

Terlepas ada atau tidak keinginan Pemkab Madina menjadikan nama Amru Daulay sebagai nama jalan, sepertinya sudah perlu menata kembali penamaan jalan di Panyabungan. supaya tidak makin simpang-siur.

BERITA TERKAIT  Pak Bupati Madina, Ini Saran Soal Acara Karnaval HUT RI pada Masa Mendatang

Di Panyabungan ada Jalan Syekh Abdul Kadir Mandili, yakni di Kelurahan Panyabunga III, apa tidak pantas juga menjadikan nama ulama-ulama besar lainnya sebagai nama jalan di kota ini, misalnya: Syekh Haji Musthafa Husein Nasution dan Syehk Ja’far Nasution.

Penamaan seorang tokoh terhadap suatu jalan, gedung, stadion, atau lainnya merupakan bentuk penghargaan atas jasa-jasa mereka dalam bidang tertentu supaya sepanjang generasi ia tetap dikenang dan menjadi inspirasi bagi generasi muda.

Terkait Amru Daulay, sekali lagi, jika namanya hendak ditabalkan sebagai nama jalan, bisa dipertimbangkan dipakai untuk jalur jalinsum dari Titi Kuning ke selatan sampai batas Kota Panyabungan–sekitar kampus Akbid Husada, Aek Godang.

Bahkan nama komplek perkantoran  bupati Madina, yaitu Payaloting apa tidak sebaiknya ditinjau. Apalagi asal mula nama itu, konon hanya karena di sekitar Aek Singolot arah perkemahan bukit itu dulu ada payau kecil, saking kecilnya digambarkan seperti loting. Maka disebutlah kawasan itu, Payaloting.

Pada era hampir bersamaan, ada lagi Hotel Payaloting. Rasanya kurang elok, jika nama komplek perkantoran bupati serupa dengan nama sebuah hotel.

Jika dari Titi Kuning-Aek Godang, misalnya, dinamai Jalan Amru Daulay, pantas pulalah dipertimbangkan nama perkantoran itu dinamai Komplek Perkantoran Amru Daulay karena masih satu jalur.

Sejarah mencatat, di jalisum inilah cikal bakal pemerintahan Madina yang dipimpin Amru Daulay, yang sampai sekarang biasa disebut “kantor bupati lama.”

Bagaimana dengan nama Jalan Williem Iskander, saatnya diberi batas, alternatifnya: dari jembatan Aek Mata Pasar Lama sampai Titi Kuning. Bagaimana pun, menurut catatan sejarah, Williem Iskander tak bisa dipisahkan  dari Pidoli.

Mengenai nama jalan lainnya, pemkab tinggal menata  lagi dengan melibatkan mereka yang berkompeten.

Tentu saja  tulisan ini hanya sekadar inspirasi yang bermula dari obrolan kecil di warung kopi. Siapa tahu juga menginspirasi para pemangku kebijakan di daerah ini.

Akhiruddin Matondang

 

BERBAGI