Oleh: MUKHTAR NASUTION (*
DULU, suara meriam bambu atau orang Mandailing menyebutnya: mariam bambu biasa terdengar bersahutan setiap jelang berbuka puasa atau usai salat tarawih. Tradisi ini menjadi daya tarik tersendiri di kala bulan Ramadan. Suara paling keras biasanya bakal dapat perhatian.
“Nagogo ma dongan i, idia do alai namarmariam i,” tanya si ayah kepada anaknya untuk mengetahui lokasi meriam bambu yang suaranya begitu keras tersebut.
Suasana Ramadan terasa makin istimewa dengan dentuman meriam bambu. Bahkan tak jarang meriam bambu dimainkan saat mendekati imsak atau waktu saat sahur untuk membangunkan warga.
Bukan bulan puasa namanya kalau tak mendengar dentuman meriam bambu. Kendatipun suaranya keras dan menggelegar karena pakai minyak tanah atau karbit tidak menjadi masalah. Terkadang dicampur garam agar suara-nya full. Pun nyaris tak ada protes masyarakat.
Semua seakan menikmati alunan suara meriam bambu yang biasanya lokasinya memang tidak begitu dekat dengan perkampungan. Terkadang di lapangan atau pinggiran kampung. Dekat sungai atau juga sopo (gubuk kecil) di pematang sawah yang tak jauh dari perkampungan.
Uniknya, lantaran suara dentuman begitu menggelegar, tak jarang meriam bambu yang terbuat dari bambu sampai pecah menjadi dua bagian.
Ini lumrah terjadi dan bukan hal aneh. Paling juga menjadi bahan tertertawaan dari sesama anak atau remaja yang menyaksikan. Semua pasti terbahak-bahak. Suatu kemeriahan sekaligus hiburan tersendiri bagi mereka.
Meriam bambu biasanya dimainkan untuk memeriahkan bulan puasa atau jelang Idul Fitri. Awal puasa meriam bambu dimainkan beramai-ramai disertai bunyi-bunyian lain, seperti mercon, petasan. Sebagian lagi memainkan pelepah pisang untuk menghasilkan suara sambil berlari-lari.
Suara-suara tersebut dimaknai sebagai tanda keriangan, penuh suka, girang, dan senang. Saling gembira menyambut bulan suci.
Malam tanggal 27 Ramadan suara meriam bambu makin ramai. Sahut-menyahut dari sudut sudut kampung, puncaknya terjadi pada malam Idul Fitri. Suara meriam bambu lebih “meledak” menyerupai alunan orkestra Royal Concertgebouw Orchestra, suara meriam bambu berpadu gema takbir dari masjid, musala dan surau.
Kebiasaan bermain meriam bambu merata di seluruh pelosok negeri walaupun dengan nama dan sebutan berbeda. Uniknya, permainan ini hanya didapat setiap Ramadan dan jelang Idul Fitri. Di luar waktu itu, rasanya jarang kita melihat atau mendengar suara meriam bambu. Kalaupun ada, patut dipertanyakan maksud dan tujuannya. Bisa jadi dianggap aneh, bahkan gila.
Dulu, meriam bambu merupakan salah satu permainan tradisional yang populer. Biasanya bersamaan musim bedil, yakni permianan anak-anak terbuat dari bambu juga. Hanya saja, ukurannya kecil. Kalau meriam bambu, besar bambu bisa sebetis orang dewasa. Sedangkan bedil paling seukuran jari telunjuk orang dewasa.
Permainan ini tidak pernah dilombakan atau dipertandingkan, hanya sekadar hiburan semata. Semakin keras suara ledakan, meriam bambu diangggap paling mencuri perhatian. Setelah tidak dimainkan lagi meriam bambunnya karena musim telah berakhir, bisa disimpan, lalu pada suatu saat dipakai lagi.
Di tengah arus globalisasi saat ini, terlebih era revolusi industri 4.0, pelan namun pasti suara meriam bambu sudah jarang terdengar. Bisa jadi, anak-anak sekarang justru tak mengenal benda ini lagi.
Sekitar dua pekan lalu saya coba tanya terhadap seorang anak seumur tingkat SLTP. Dia malah heran saat saya tanya apakah tahu meriam bambu. “Apa itu pak,” ucapnya.
Semakin bertambah tahun, meriam bambu kian terpinggirkan. Bulan Ramadan sejatinya menjadi bulan “kedigdayaannya” malah menjadi saksi kebisuan. Secara ekstrim jika boleh disebut di kampung sekalipun suara meriam bambu tidak terdengar lagi meskipun pada Ramadan atau jelang Idul Fitri seperti sekarang.
Suara tanda zaman yang memarginalkan sudah dirasakan. Mainan baru sekarang mendominasi pasaran dan inilah yang menggantikan meriam bambu. Semua jenis permainan lengkap di dunia maya. Anak-anak dan mereka betah menjadi generasi mager serta menjadi pengikut kaum “rebahan”.
Apapun ceritanya dentuman suara yang menggelar dari meriam bambu pasti bakal dirindukan setiap orang yang mengukir romantisme pada era sebelum 1990-an. Wallahu aqlam bishawab…
*Penulis: ASN pada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Madina