BERBAGI
foto hanya ilustrasi (foto: istimewa)

SUATU sore, kala itu, dalam perjalanan mudik dari Lampung ke Mandailing Natal (Madina), Sumut saya dan keluarga mampir di suatu rumah makan di Panti, Pasaman, Sumbar. Tujuannya, mau berbuka puasa.

Menu di atas meja pun dihidangkan,  salah satunya ada toge khas Panyabungan. Sebelum meninggalkan tempat itu, ada kerinduan mencicipi toge tersebut.

Pendek cerita, tibalah saat pembayaran. Kami kaget, jumlahnya sangat tak logis. Setelah di dalam mobil, bill kami lihat lagi sembari diperbincangkan. Saat itu, kami merasa menjadi korban “ona dulpak”.

“Ona dulpak” adalah istilah dalam bahasa Mandailing. Artinya kira-kira, seorang pedagang yang memberi harga tidak wajar dari biasanya.

Mengutip cerita Askolani, budayawan Mandailing, dia dan rombongan sekitar 20 orang ke Saba Sabarang, Kotanopan, Madina. Karena persediaan menu tak memadai, terpaksa makan ala kadarnya.

Di antara mereka ada cuma melahap me instan pakai telor, satu porsi berdua. Saatnya pembayaran, lebih Rp800 ribu. Jika dirata-ratakan, lebih Rp40 per orang.

Menurut Askolani, itulah cara kita “mandulpak” orang. Kita kira kita cerdas berhasil membodohi pelanggan. Kita lupa pelanggan bakal cerita kepada siapa saja dan dagangan anda bisa dimusuhi seumur hidup. “Itulah kita,” katanya.

Seperti itu pulalah dibenak kami ketika “ona dulpak” di Panti. Saat itu seperti bersumpah, tak akan makan lagi di tempat itu.

Jujur saja, di Madina ini ada sejumlah tempat makan dengan menu khas divonis masyarakat suka “mandulpak”. Bahkan, seolah sudah rahasia umum.

Jika diperhatikan, ada beberapa kriteria konsumen yang mereka “terkam”, misalnya: rombongan pekerja politik seperti saat pileg atau pilkada, rombongan kantor swasta atau negeri.

Lalu, orang luar daerah kebetulan melintas dari Madina, perantau pulang kampung, orang Madina berpenampilan necis, dan mereka pengguna mobil mewah.

Tidak seperti di daerah lain, rumah makan di Madina belum banyak pakai daftar harga. Cuma disodorkan menu—kalau ada– tanpa mencantumkan harga.

Dengan kondisi seperti itu, sebenarnya si pemilik rumah makan seolah bisa membuat harga semaunya. Asal “mandokon songoni”. Boleh semena-mena terhadap konsumen.

Di Padangsidimpuan, ada toko roti dan jajanan. Cukup terkenal. Tetapi sayang, tidak semua dagangan diberi label harga. Ketika menghitung belanjaan konsumen, si pegawai selalu pakai kalkulator. Jemarinya begitu cepat, lalu dia menyebutkan jumlah.

Pernah saya total ulang belanjaan saya, ternyata ada kekeliruan. Tidak tahu, apakah itu disengaja atau tidak.

Sebab itu, hendaknnya si pemilik rumah makan jangan sampai membuat jera pelanggan singgah di tempatnya. Itu merugikan usaha sendiri.

Orang yang tidak senang soal harga atau pelayanan anda, pada saat-saat tertentu dia bakal cerita kepada orang lain. Minimal keluarganya berpikir seribu kali mampir di tempat anda.

Rasa takut kepada Tuhan Yangmaha Esa-lah yang membuat kita selalu berbuat kebajikan. Jual beli yang baik adalah didalamnya terdapat kejujuran, benar, dan tidak mendurhakahi allah.

Islam pada dasarnya menganut kebebasan, yaitu kebebasan melakukan transaksi dengan tetap memegang nilai-nilai keadilan, ketentuan agama dan etika.

Karena itu, Islam melarang jual beli yang di dalamnya terdapat transaksi mengandung unsur gharar yang berakibat keuntungan di satu pihak dan kesewenang-wenangan serta penindasan di pihak lain.

Dengan kata lain, gharar atau taghrir adalah istilah dalam kajian hukum Islam yang berarti keraguan, tipuan, atau tindakan yang bertujuan merugikan orang lain.

Selamat menjalankan puasa, semoga keberkahan Allah Swt. selalu kita dapatkan…

Akhiruddin Matondang

BERBAGI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here