BERBAGI
UCAPAN SELAMAT--Wakil Bupati Madina Atika Azmi Utammi menyampaikan ucapan selamat bagi mereka yang dilantik sebagai perjabat eselon dua, tiga dan fungsional, belum lama ini. Foto ini sempat menjadi bahan perbincangan di sejumlah grup WhatsApp. (foto: istimewa)

KETIKA Alamulhaq Daulay dilantik sebagai Penjabat (Pj) Sekdakab Madina, tentu dia menjadi salah satu bagian tumpuan harapan peningkatan kinerja OPD. Setidakya, sampai ada pejabat definitf.

Bolehkah lewat polesan tangan Alamulhaq kita berharap kabupaten ini mendapat predikat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). Tentu boleh.

Bupati tetap harus punya optimisme semua jajaran bisa bekerja keras supaya predikat WTP untuk kali pertama bisa “berlabuh” di Bumi Gordang Sambilan. Tidak lagi sekadar angan dan dan impian, tapi sebuah kenyataan.

Dibalik rasa optimis itu, tentu banyak elemen masyarakat menyangsikan Madina bakal bisa meraih WTP, setidaknya kecil kemungkinan jika pada tahun 2022. Bahkan 2023 pun hal itu rasanya masih tak mungkin jika tidak ada perubahan spektakuler dari kondisi saat ini.

Opini WTP atau unqualified opinion adalah suatu hasil yang menyatakan laporan keuangan entitas yang diperiksa auditor BPK telah menyajikan secara wajar dalam semua hal (material), posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

Predikat WTP sangat penting bagi suatu pemerintahan daerah, karena merupakan citra positif yang menunjukkan roda pemerintahan dikelola secara akuntabel dan (bisa) menjadi tanda suatu pemerintahan terbebas korupsi.

Dari tujuan itu, tergambar begitu berat bagi Pemkab Madina mendapat predikat WTP. Bahkan saya tidak percaya daerah ini mampu meraih WTP pada tahun 2022 dan 2023.

Kalaupun mau bermimpi dan mau kerja keras, itu paling cepat didapat 2024. Sebab itu, Alamulhaq selaku Pj. Sekdakab perlu mengevaluasi dan menata ulang semua kebijakan terdahulu, termasuk pimpinan OPD yang diangkat bukan berdasarkan meriktokrasi.

Sungguh tak mudah menjadi seorang Alamulhaq. Ia bakal dihadapkan pada “cahaya matahari” yang bersinar darimana-mana, tidak sekadar dua.

Bahkan, jika jujur, bupati sendiri pasti “silau” melihat “cahaya matahari” tersebut dari beberapa tempat saat ia hendak melakukan mutasi.  Padahal mestinya sudah masanya bupati, sebagai pemegang tampuk pimpinan di jajaran Pemkab Madina mulai tegas. Jika tidak, target capaian pembangunan seperti diharapkan bakal sulit tercapai.

Rasa pesimis saya itu bukan tanpa alasan. Pertama, pelaksanaan proyek fisik APBD 2022 tampaknya tak bakal mulus. Satu, dua, atau beberapa kegiatan pekerjaan fisik berpotensi menimbulkan masalah. Bahkan, tak menutup kemungkinan nanti ada temuan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) Perwakilan Sumut, yang berujung pada pengembalian anggaran.

BERITA TERKAIT  Catatan Kasus Suap PPPK Madina: Setelah DHS Tersangka, Siapa Selanjutnya Pakai Baju Merah Ini...  

Kedua, baru-baru ini, Gubernur Sumut Edy Rahmayadi menyampaikan secara terbuka nilai Sakip/Lakip (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah/Laporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah) Pemkab Madina hanya 35 dari passing grade (nilai standar) 76.

Gubernur tidak menjelaskan waktu penilaian Sakip/Lakip, apakah tahun lalu, atau bocoran nilai sementara tahun ini, 2022. Yang jelas, itu warning bagi bupati dan jajarannya bahwa Madina saat ini sedang tidak baik-baik saja.

Sakip/Lakip merupakan hasil penilaian pemerintah pusat mengenai kondisi pemerintahan dan keuangan pemerintahan daerah berdasarkan masing-masing indikator yang ditentukan.

Pada saatnya nanti, masyarakat bakal tahu nilai dan peringkat Sakip/Lakip Madina, khususnya tingkat Sumut. Jika suatu pemkab, mampu melewati angka passing grade, biasanya ada bonus berupa dana insentif daerah (DID). Nilainya sangat fantastis, Rp100 miliar

Tak mudah memang mendapatkan bonus tersebut. Semua sektor yang mengelola anggaran dinilai, termasuk pembangunan infrastruktur. Misalnya, berapa panjang jalan desa yang diaspal pada tahun berjalan. Jika dibangun, misalnya, 10 kilometer, nilainya segini. Bahkan, kemampuan menurunkan angka stunting pun dinilai.

Dasar penilaian Sakip/Lakip adalah WTP, yaitu mengenai manajemen keuangan. Masing-masing sektor ada indikator. Ini kerja jangka panjang, harus pelan-pelan. Itu juga antara lain alasannya saya tak yakin pada 2022 dan 2023 Madina bakal WTP.

Cukup banyak variabel yang dinilai. Seharusnya setiap ada pelatihan Sakip/Lakip yang diadakan pusat atau daerah di Indonesia, Pemkab mengirimkan staf agar mereka paham konsep meningkatkan nilai Sakip/Lakip.

Semua indikator penilaian harus dipahami pimpinan OPD. Sebab, selain melaksanakan serta mensukseskan visi misi bupati, OPD harus berkaca pada indikator Sakip/Lakip lantaran ini program nasional. Itulah sebabnya, jika suatu daerah ingin maju, tak ada alasan untuk tidak menjadikan kompetensi dan berbasis kinerja sebagai acuan memilih pimpinan OPD. Ini kalau ingin ada perubahan, kecuali tidak.

Sakip/Lakip bukan hanya melihat satu sisi. Indikator satu sama lainnya saling keterkaitan. Masukan masyarakat dituangkan dalam rencana jangka pendek, menengah dan panjang.

BERITA TERKAIT  Banyak Kejanggalan, Perayaaan HUT ke-78 RI di Madina (Mungkin) Paling Unik se-Indonesia?

Selama ini, OPD terkesan terlalu fokus pada pencapaian visi misi bupati, sedangkan indikator Sakip/Lakip terlupakan. Tak heran ketika ada penilaian, anjlok tak sesuai harapan.

Oleh sebab itu, penerapan meritokrasi itu sangatlah penting. Pilihan figur yang bakal menempati pimpinan OPD harus terlebih dahulu dilakukan secara obyektif berdasarkan kompetensi.

Kalaupun ada kepentingan lain kepala daerah, misalnya, secara politis atau kekerabatan, sebaiknya pilihan jatuh terhadap satu di antara pilihan obyektif tersebut. Tentu saja perbandingan figur obyektif tersebut harus apple to apple.

Dalam suatu kabinet pemerintahan, bukan tak boleh ada yang tak memenuhi standar—lantaran pertimbangan kepentingan tersebut, tapi jangan terlalu banyak. Jika diumpamakan, kambing pilihan subyektif dan sapi pilihan obyektif, maka jumlah sapi harus lebih banyak dari kambing.

Tidak sebaliknya. Sangat sulit menyembunyikan sapi di antara kerumunan kambing.

Perumpamaan itu penting dipahami. OPD adalah ujung tombak keberhasilan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pimpinan OPD bersama para staf harus pandai menyusun kegiatan. Jangan normatif. Lihat hasil musrenbang, indikator Sakip/Lakip, tindaklanjuti program daerah dan nasional yang mendesak.

Jika nilai Sakip/Lakip rendah tidak menutup kemungkinan lobi dana DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus) di pusat bakal sulit, karena acuan kementerian dalam menentukan besaran dana DAU dan DAK adalah Sakil/Lakip.

Kunci terakhir penataan pimpinan dan staf OPD adalah lelang jabatan nanti, yang menurut rencana dilaksanakan Nopember 2022. Jika ingin pemerintahan ini lebih baik, tidak ada pilihan lain kecuali implementasikan meriktotrasi, meskipun tak 100 prosen.

Proses lelang hendaknya tidak dijadikan sebagai tameng, tapi benar-benar proses seleksi mendapatkan figur-figur kompeten yang diharapkan mampu kerja mengimplementasikan program bupati dan wakil bupati.

Dan, Baperjakat pun betul-betul difungsikan, bukan sekadar formalitas.

Catatan terakhir, kalau saja “matahari” hanya satu seperti yang kita lihat di langit biru pada siang hari, tentu bupati lebih leluasa dalam menentukan suatu kebijakan, termasuk soal mutasi.  (HABIS)

Akhiruddin Matondang (Pimpinan Redaksi/Penanggunjawab Beritahuta)

BERBAGI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here