Oleh: Moechtar Nasution
Pendahuluan
RASANYA sudah lama tidak mendengar kata jeges dalam percakapan sehari-hari, baik di perkantoran maupun di tengah masyarakat. Dulu, frasa ini sangat akrab di telinga dalam interaksi masyarakat, terlebih saat “musim” pernikahan seperti sekarang.
Pertanyaan yang sering diucapkan, misalnya, jegesma borunai le…nasian dia ma hutana. Begitulah kata jeges berulang-ulang dinisbatkan secara gender pada perempuan untuk menggambarkan paras, wajah, kecantikan dan pesona secara khusus.
Kosa kata ini juga dimaknai sebagai ungkapan keindahan. Juga kerap diartikan pernyataan menunjukkan kerapian. Diucapkan sebagai apresiasi, kebanggaan atau kekaguman terhadap hal tertentu yang memiliki nilai bagus, elok, apik dan rapi.
Kata jeges secara antropologi sosiologis merupakan bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti masyarakat Batak, walaupun lebih banyak dipakai di Mandailing.
Contoh, masyarakat Angkola lebih sering mengucapkan kata najogi sebagai kata persamaan jeges. Saat seseorang mengucapkan kata jeges di Padangsidimpuan, Gunungtua, Padang Bolak dan lainnya, jelas dia dipersepsikan berasal dari Mandailing. Karena frasa jeges kemungkinan murni berasal dari bahasa Mandailing.
Suatu kata yang tetap awet dipergunakan sebagai bahasa sehari- hari, walaupun belakangan intensitas percakapan penggunaannya makin kurang. Itulah mungkin alasan pihak RSUD Panyabungan mengambil kata jeges sebagai nama program andalan mereka. Harapannya, tentu mampu merubah imej positif tentang birokrasi pelayanan terhadap masyarakat.
Birokrasi yang Tidak Jeges
Stigma negatif nyatanya hingga hari ini masih melekat dalam dunia birokrasi, seperti amburadul, bertele-tele, acuh, lambat, bobrok, cenderung korup dan lainnya.
Fenomena ini sudah rahasia umum, khususnya di lembaga pelayanan publik, seperti rumah sakit, terutama rumah sakit milik pemerintah.
Perilaku yang jauh dari kalimat memuaskan tersebut akhirnya membuat publik terkesan enggan berurusan dengan birokrasi. Sikap skeptis muncul bukan tanpa alasan. Salah satunya, disebabkan lemahnya sistim pelayanan birokarasi yang sejatinya dalam transformasi zaman berkembang cepat dewasa.
Atau setidaknya birokrat memiliki pradigma baru pelayanan publik. Terlebih lagi dewasa ini sudah masa revolusi industri 4.0, bahkan sudah memasuki zaman society 5.0.
Dengan alasan seperti disebut di atas, publik pun pasrah dan berserah diri sembari sesekali mengkritik. Publik sebagai user dari pembangunan merasa kepentingannya terabaikan, bahkan terpinggirkan padahal sesungguhnya publik adalah pemegang mandat kedaulatan yang kepentingannya harus dinomorsatukan.
Hubungan publik dengan birokrasi berjalan mandeg dan stagnan karena kedua entitas ini seperti api yang jauh dari panggang. Kendati pun sesungguhnya keduanya memiliki ketergantungan masing-masing guna menjamin pemenuhan hak-hak publik dari tanggung jawab negara dan pemerintahannya.
Pelayanan yang Tidak “Jeges”
Ragam keluhan termasuk juga cacian plus makian sering dialamatkan ke rumah sakit. Ibarat makanan empat sehat lima sempurna, semua keresahan, kegelisahan dan kecemasan publik itu tersaji utuh dan lengkap. Sesekali terdengar sumpah serapah menimpali.
Jika ditelisik kasus demi kasus dapat dipastikan semua bermuara pada pelayanan yang sama sekali jauh dari diksi memuaskan, malah mungkin dalam persepsi publik justru memuakkan.
Ini fakta dan realitas yang tidak bisa dibantah dengan argumentasi, regulasi, dan juga apologi. Karena bukan sekali dua kali kita dengar kasus yang menceritakan mengenai hal itu.
Kondisi ini jamak ditemukan dalam bentuk sikap, tingkah laku dan perbuatan birokrasi rumah sakit yang membuat publik merasa kesal. Teramat panjang jika harus diulas satu persatu, namun konklusinya karena permasalahan terkait sistem pelayanan. Itu sudah pasti.
Kita boleh berdebat secara keilmuwan dalam menyikapi kondisi ini, namun satu hal yang harus dijadikan cemeti bahwa pelayanan publik seperti rumah sakit harus benar-benar memastikan perlakuan dan pelayanan terhadap pengunjung/pasien secara manusiawi.
Sungguh, teramat sering kita dengar umpatan pengunjung yang menggerutu, seolah-olah mereka tidak dihargai, layaknya manusia.
Bukannya menjelaskan kekurangan dokumen yang dibawa pengunjung, namun malah menyuruh kembali datang besoknya. Dengan muka cemberut dan arogan, si petugas ogah-ogahan memberikan penjelasan.
Saya sendiri pernah mengalami hal ini dulu saat almarhum ayah saya dirawat dalam waktu lama. Benar-benar pengalaman yang menyita energi untuk memancing naiknya hormon adrenalin.
Hanya untuk suatu pelayanan yang baik, memanusiakan manusia pun sungguh terasa berat. Padahal mereka sama seperti tenaga kesehatan yang setiap tahun membayar PBB (Pajak Bumi Bangunan) dan pajak-pajak lainnya. Mereka juga bayar BPJS, sama seperti petugas medis dan non medis yang setiap bulan membayar premi.
Pengunjung atau pasien menurut saya hanya membutuhkan perlakuan biasa, sangat biasa sekali sebagaimana kebiasaan mereka berinteraksi dengan masyarakat lain.
Tidak minta keistimewaan. Mereka terlayani baik, disapa baik, ditanya hendak berobat kemana, sehingga tidak bingung, tidak lama menunggu loket, poli dan apotik.
Ada petugas tempat mereka bertanya, jadwal dokter definitif supaya waktu mereka tidak terbuang sia-sia. Karena untuk bisa sampai ke rumah sakit membutuhkan biaya dan sebagainya.
Sikap ramah dan senyuman mengembang menyapa pengunjung jelas merupakan bentuk kepedulian dan penghargaan tertinggi dari manusia bagi manusia lain.
Namun hal ini amat jarang ditemukan dalam sikap birokrasi rumah sakit. Berawal dari hal kecil dulu agar bisa merefresentasikan impian besar dikemudian.
Sederhananya, pelayanan baik dan manusiawi. Cukup hanya ini saja pengunjung atau pasien sudah senang. Untuk menyebut pelayanan prima sangat mustahil, dan andai itu terjadi, niscaya merupakan mukjizat tak terduga.
Itupun pasti butuh waktu panjang. Masihlah teramat panjang perjalanan harus ditempuh untuk menggapainya.
“Sijeges” yang Harus “Jeges”
Saat lounching program “Sijeges” di Aula RSUD Panyabungan, belum lama ini, Bupati Madina, M.Jafar Sukhairi Nasution selain memberikan apresiasi juga sekaligus mewanti-wanti agar program ini benar-benar diaplikasikan dengan penuh kejujuran dan akuntabilitas tinggi mengingat program ini bersentuhan langsung dengan masyarakat, utamanya peningkatan pelayanan.
Program Sijeges lahir dari hasil kajian dan analisa tepat untuk mengurai benang kusut pelayanan selama ini. Sebuah produk yang tidak datang secara ujug-ujug, namun lebih kepada hasil sebuah telaahan kritis menyikapi keluhan, cibiran hingga sumpah serapah pengunjung selama ini.
Merubah karakter, pola dan sistem pelayanan bukan perkara mudah. Ini pasti butuhn waktu lama, karena berkaitan mindseat para pemangku kebijakan di instansi tersebut.
Mulai manajemen, kepala ruangan, kepala instalasi, kepala poli, kepala apotik hingga dokter, perawat, bidan, apoteker, analis, fisiotrafis, perekam medis, fisikawan, nutrisionis, radiographer, refraksionis, satpam, pramusaji, petugas kebersihan dan lainnya. Semuanya harus berbenah.
Birokrasi seharusnya melayani, bukan dilayani. Ini harus disosialisasikan sebagai langkah awal dalam penataan.
Fakta lain, hampir dominan ASN (Aparatur Sipil Negara) dan honorer yang ada saat ini adalah orang yang sudah lama mengabdi dengan segala kekurangan dan kelebihan.
Sebagiannya, mungkin sudah terlalu lama. Apakah mereka bisa beradaptasi terhadap program ini. Inilah tantangan utama.
Zona nyaman selama ini mungkin saja sudah membutakan kreatifitas dan inovasi, sehingga setiap perubahan apapun dalam rezim berbeda hanya lebih menghasilkan wacana ketimbang aksi. Jika ini bisa tuntas, tentu saja akan mempermudah tingkat pencapaian kinerja.
Mau tidak mau, suka atau tidak memang saat inilah moment tepat melakukan reformasi pelayanan guna mendukung iklim perkembangan dunia kesehatan yang sedemikian cepat.
Tidak ada cerita lain, jika ini tidak dilahirkan maka bukan tidak mungkin rumah sakit milik pemerintah ini bangkrut karena tidak mampu bersaing dengan rumah sakit swasta. Artinya pemerintah selama ini hanya menghamburkan uang miliaran dengan sia-sia.
Gebrakan RSUD Panyabungan dengan Sijeges adalah bentuk upaya dan ikhtiar dalam rangka perubahan seperti yang sering tertulis dalam laman media sosial bupati dan wakil bupati, yakni Madina Bersyukur, Madina Berbenah.
Senyum tulus, Ikhlas dalam merawat. Tidak judes. Edukatif memberikan informasi, empati dalam melayani, dan sapalah pengunjung atau pasien dengan sopan. Inilah inti dari Sijeges itu.
Program Sijeges harus seindah namanya dan harus secantik namanya. Jika tidak, ini menjadi bahan anekdot sepanjang masa. Semua stakeholder rumah sakit harus berkomitmen menyelaraskan program Sijeges sesuai makna katanya. Harus jeges. Tidak bisa tidak.
Kendati berat, namun program ini mesti jalan karena keberhasilan program ini membawa angin segar bagi pelayanan publik di Madina. Ini bisa jadi pilot projek perubahan.
Setiap program pasti menimbulkan kontroversi, khususnya dari internal, dan itu hal lazim. Tetaplah on the track karena mulai, 3 Agustus 2022 hingga masa mendatang, publik menunggu niat perubahan itu menjadi kenyataan.
Selamat melayani sepenuh hati, selamat datang Sijeges….
Penulis: Pemerhati masalah sosial kemasyarakatan Madina.