Oleh: Moechtar Nasution
HAMPIR tidak ada yang tahu jika hari ini, 18 Mei 51 tahun lalu, Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kearsipan disahkan DPR RI dan pemerintah.
Hari bersejarah menandai keinginan kuat dan luhur dari anak bangsa untuk melakukan penyimpanan, penyelamatan serta pelestarian terhadap aset penting peradaban miliknya. Berupa arsip untuk dan atas nama kepentingan generasi pada masa mendatang.
Hari ini kita peringati sebagai Hari Kearsipan Nasional kendati pun amat sangat jarang di daerah, baik provinsi apalagi kabupaten/kota ada kegiatan atau berita terkait hari yang seharusnya diperingati para insan arsiparis penuh dedikasi, kehormatan, kebanggaan dan kejayaan.
Sangat jarang, bahkan bisa disebut sama sekali tidak pernah diperingati walau hanya secara sederhana. Padahal begitu banyak hari nasional sebagai penghargaan terhadap profesi dalam kalender pemerintahan dirayakan gegap gempita, seperti Hari PGRI, Hari Amal Bakti, Hari Pramuka, Hari Bela Negara dan lainnya.
Kita seakan abai dan lupa, baik sengaja atau tidak untuk tidak memperingati Hari Arsip. Padahal sejatinya arsip merupakan memori yang tidak pernah lekang oleh panas dan hujan.
Arsip sesuatu yang abadi, selalu diperlukan dan dibutuhkan dalam menapaki hari-hari panjang dan melelahkan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan juga bermasyarakat.
Arsip mampu mengikat dalam semangat persatuan dan kesatuan sebagai bangsa dan negara. Arsip termasuk salah satu yang bisa menjadi jembatan atau simpul pemersatu semua bangsa.
Kenapa kita tidak peringati Hari Arsip. Sangat memungkinkan, jawabannya karena keengganan menganggap arsip bagian penting dalam hidup dan kehidupan.
Kita terlalu menganggap sepele dan remeh. Memandang rendah, berpikir jika arsip hanya kualitas murahan dan selalu bersikap memicingkan sebelah mata.
Lemahnya sistim kearsipan di negara kita sudah bukan rahasia lagi, bahkan–maaf–bobrok. Padahal sesungguhnya sebagai perbandingan (comparative), suatu ketika Presiden Panama, salah satu negara di kawasan Amerika Tengah, R.J. Alfaro pada 1937 pernah menyebutkan, arsip adalah saksi bisu, tak terpisahkan, handal, dan abadi, yang memberikan kesaksian terhadap keberhasilan, kegagalan, pertumbuhan dan juga kejayaan bangsa.
Bahkan secara ekstrim, secara lugas disebutan, jika pemerintah tanpa arsip seperti layaknya serdadu tanpa senjata, dokter tanpa obat , petani tanpa benih, dan tukang tanpa alat.
Artinya hanya kesia-sian belaka. Narasi yang dilontarkan ini sugesti bagi para insan arsiparis dalam melakoni keseharian di berbagai institusi kearsipan, baik pemerintahan maupun swasta.
Sir Arthur Doughty, pendiri Institut Arsip Nasional Kanada, menyebutkan dari semua aset negara yang ada, arsip merupakan aset paling berharga. Karena arsip merupakan warisan nasional dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Bahkan secara tegas dia mengatakan tingkat keberadaban suatu bangsa dapat dilihat dari pemeliharaan dan pelestarian terhadap arsip.
Arsip, kata dia, merupakan indikator melihat tinggi rendahnya peradaban. Semakin berkualitas pengelolaan kearsipan, semakin tinggi peradabannya, demikian sebaliknya.
Hari ini 51 tahun silam adalah hari saat tonggak fundamental bagi penyelenggaraan kearsipan di negara kita secara sistimastis dan modern. Ditancapkan ibarat pasak bumi di tengah lautan sebagai pangkalan pengeboran.
UU ini diharapkan menjadi momentum kebangkitan dunia kearsipan yang telah lama tak dianggap penting. Bahkan terkesan selalu dianak-tirikan dalam pemerintahan.
Pasca Indonesia merdeka, 1945, nyaris arsip di negara kita tidak ada yang mengurusi. Jika pun ada lembaga yang mengurusnya tidak pernah sebaik yang diharapkan. Ini antara lain akibat seringnya pergantian nomenklatur sehingga masalah tugas, pokok dan fungsi penanganan kearsipan mengalami stagnasi.
Semua lembaga dan kementerian menyimpan arsip masing masing tanpa ada regulasi yang jelas, sehingga terkadang penanganan kearsiapan berjalan secara ego sektoral.
Bahkan hal ini juga mungkin menjadi faktor penyebab adanya arsip yang untuk zaman ini bernilai penting dan masuk kategori arsip statis, patut diduga hilang atau raib.
Pasca penerbitan UU ini, penanganan kearsipan memasuki masa baru. Tadinya dipandang sebelah mata, sekarang tidak lagi.
Peran kearsipan dalam manajemen pemerintah guna mewujudkan tujuan nasional sudah dianggap penting untuk menjadi penjaga memori kolektif bangsa.
Kehadiran dan eksistensi kearsipan mulai menggeliat membuka cakrawala berpikir bangsa, bahwa tanpa arsip pemerintahan seperti tubuh kehilangan roh.
Pelan, tapi pasti, sejak 18 Mei 1971, derap langkah kearsipan dalam percaturan pemerintahan pusat maupun daerah mulai dilirik karena dianggap memberi warna baru dan seiring perjalanan waktu, fungsi dan pengaruh arsip mulai dianggap penting. Ini lantaran bisa memengaruhi kebijakan strategis bangsa.
Arsip menjadi sesuatu bernilai penting dan signifikan bagi proses perjalanan kehidupan bangsa sampai kemudian direvisi menjadi UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan.
Kemajuan bangsa sangat didukung berbagai proses pencarian, pengelolaan, penyimpanan dan pelestarian arsip. Dua hal saling bersinergi dan saling mendukung seperti pernah disampaikan Megawati Soekarno Putri saat membuka Pameran Indonesian Archives di Jakarta pada 2016 lalu.
”Tanpa arsip, kita akan tetap menjadi bangsa terbelakang, karena tidak punya bukti-bukti sejarah” katanya.
Arsip sebagai bagian dari sejarah bertugas menyimpan catatan perjalanan bangsa dan negara, sejak dahulu hingga sekarang.
Dengan adanya catatan tersebut diyakini mampu menumbuhkembangkan nasionalisme dan perasaan cinta tanah air penduduknya.
Generasi milineal mampu menceritakan dahsatnya peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, membaca dan mengulas tentang Front Benteng Huraba dengan Mas Kadiran. Juga bisa membaca Otobiografi Mohammad Hatta yang menceritakan pengalamannya di Tapanuli. Kita juga bisa melihat foto Bung Karno saat berpidato di Panyabungan atau juga melihat foto saat persidangan DPR RI tentang pengesahan UU No. 12 Tahun 1998 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir dan Kabupaten Tingkat II Mandailing Natal. Itu semua karena ada arsip.
Pemantapan nasionalisme ini merupakan tantangan tersendiri pada era revolusi industri 4.0 dewasa ini. Jujur saja, nasionalisme kita amat sangat tergerus pada tahun-tahun belakangan ini.
Berbagai tantangan, hambatan, gangguan dan ancaman mengintai dan mengancam NKRI, mulai penyebarluasan idiologi yang bertentangan dengan Pancasila, tindakan separatisme menguat, hoaks merajela, peredaran narkoba mengkhawatirkan, krisis kesehatan Covid-19 masih terjadi dan lain sebagainya. Ini tentu harus disikapi secara arif dan bijaksana.
Salah satu cara yang efektif dan efisien tentu saja dengan pendekatan arsip (archive aproach) yakni memaparkan sesuatu tersebut dalam pandangan arsip dengan menghadirkan bukti dan data.
Pendekatan kearsipan ini diyakini jauh memiliki dampak positif sebagai salah satu cara menghasilkan solusi dari permasalahan yang ada.
Dengan bekal arsip, tentu bisa menjadi faktor penting dalam perumusan dan penyelesaian masalah. Lepasnya Sipadan-Ligitan dari NKRI pada 2000-an lebih diakibatkan kurangnya dukungan arsip negara terkait kepemilikan dua pulau tersebut.
Saat itu, kita bersengketa dengan Malaysia dan sialnya kita dinyatakan kalah dalam persidangan Mahkamah Internasional.
Pendekatan arsip terutama menjaga dan mempertahankan setiap jengkal wilayah NKRI memang penting terutama wilayah perbatasan, baik daratan atau pulau terluar.
Sinergitas, kolaborasi dan harmonisasi pada usia ke-51 Kearsipan Nasional tahun ini jangan hanya berlalu begitu saja. Sejatinya milad ini dijadikan sebagai momentum peningkatan motivasi serta penumbuhkembangan semangat bela negara dan cinta tanah air yang difungsikan sebesar-besarnya demi kemajuan bangsa.
Dengan peningkatan motivasi bagi kalangan arsiparis, tentu mendorong lahirnya inovasi guna mendukung percepatan pembangunan. Terobosan dan lompatan ini yang dinantikan sehingga kelak mampu melahirkan berbagai program guna mewujudkan kesejahteran masyarakat.
Semoga….wallohu aqlam bisshawab.
(Penulis adalah ASN pada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Pemkab Mandailing Natal)