Benarkah Warga Madina Enggan Kibarkan Bendera pada 17-an?

BERBAGI

OLEH: AKHIRUDDIN MATONDANG

TINGGAl hitungan hari, kita, bangsa Indonesia memperingati HUT (Hari Ulang Tahun) ke-74 Republik Indonesia. Peringatan hari bersejarah bagi lahirnya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Kemeriahan berbagai lomba dan kegiatan masyarakat di tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, bahkan nasional sudah mulai tampak. “Pesta rakyat” itu sebagai bagian refleksi rasa syukur atas kemerdekaan yang diraih bangsa ini dari genggaman penjajah.

Sudah sepantasnya semua lapisan masyarakat ikut memeriahkan HUT kemerdekaan. Namun, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan masyarakat, yaitu memasang bendera merah putih pada saat beberapa hari sebelum dan sesudah peringatan detik-detik proklamasi yang diadakan setiap 17 Agustus.

Usai peringatan HUT ke-73 Kemerdekaan RI tahun lalu, saya pernah menulis artikel  berjudul:  Masih Adakah Nasionalisme “Halak” Mandailing. Tulisan tersebut menggambarkan betapa rendah kesadaran masyarakat Madina memasang bendera merah putih, paling tidak pada momentum HUT kemerdekaan RI.

Sangat minim rumah-rumah warga, kantor swasta, kantor ormas, ruko, toko dan lainnya yang memasang bendera merah putih menjelang hari “H” peringatan detik-detik HUT kemerdekaan.

Tulisan itu pun ditanggapi beragam oleh pembaca. Secara umum, mereka baru sadar begitu rendah nasionalisme “halak kita”. Tidak tahu pasti, sejak kapan rasa tak peduli mengibarkan bendera tersebut luntur.

SEPI PEMBELI–Para pedagang bendera merah putih dan umbul-umbul di Panyabungan dan sekitarnya mengaku sepi pembeli karena animo warga memasang “merah putih” saat 17-an sangat rendah.

Seingat saya, dulu pada era sebelum 1990-an, masyarakat begitu antusias memasang umbul-umbul di jalan raya kampung masing-masing. Warga Banjarsibaguri, Panyabungan (Madina), misalnya, memasang gapura di gerbang masuk kelurahan itu dari arah pasar lama.

Pihak kelurahan menyampaikan pengumuman, baik tertulis atau melalui pengeras suara  dari masjid agar warga memasang bendera di depan rumah masing-masing pada jelang 17 Agustus.

Sepanjang jalan raya Banjar Sibaguri dipasang bendera dan umbul-umbul.  Meskipun dengan sederhana, tampak pernak-pernik merah putih yang menggantung di untaian tali yang membentang dari sisi kiri ke kanan hingga ujung kampung.

Sekarang pemandangan seperti itu sudah sangat langka. Benarkah nasionalisme halak kita  pudar? Jika ingin jawaban pasti, tentu harus disurvey. Meskpun begitu,  saya kurang yakin nilai-nilai kebangsaan masyarakat Madina sudahb surut.

BERITA TERKAIT  Bahaya Mengintai Santri Pesantren Musthafawiyah Purba Baru?

Lalu, apa sebabnya sampai hal itu terjadi. Kenapa setiap jelang peringatan detik-detik HUT RI, seperti yang terjadi pada 17 Agustus 2018 lalu, hanya sebagian kecil rumah warga yang berada di tepi jalan protokol dipasang bendera.

Pun para pemiliki ruko, kantor swasta, toko, kios, ruko,  “lopo” dan sejenisnya terkesan acuh pada HUT Kemerdekaan RI. Saya masih ingat, rumah pribadi seorang sekretaris daerah (sekda) Madina saja, tepat 17 Agustus 2018, tidak dipasang bendera.

Entah dihuni atau sedang dikontrakan, yang jelas di deretan sepanjang  rumah sekda, hanya ada satu rumah terpasang bendera. Menyedihkan.

Jika bercermin pada pemandangan HUT ke-73 tahun lalu, tampak hanya satu-dua warga yang menghuni deretan bangunan di Jl. Williem Iskandar, Panyabungan, Madina yang memasang bendera di depan rumah atau tempat usaha mereka.

Jika rumah, kantor ormas, atau tempat usaha di sepanjang jalan pusat kota saja hanya segelintir penduduk yang memasang bendera, bagaimana dengan yang di gang-gang, permukiman padat penduduk, dan desa-desa.

Jangan-jangan mereka lupa, kalau masih ada kewajiban memasang bendera pada setiap peringatan HUT kemerdekaan RI. Jangan-jangan tahunya mereka HUT RI itu hanya karnaval, defile, lomba panjang pinang, lomba makan kerupuk, dan sebagainya.

Apakah seiring perjalanan waktu, memasang bendera dianggap sudah tidak perlu lagi. Pertanyaan ini semestinya menjadi introspeksi diri bagi pihak Pemkab Madina, terutama instansi terkait. Kenapa pada  saat-saat peringatan moment bersejarah seperti sekarang mereka hanya fokus mengurusi kegiatan di lingkungan pemkab.

Potrer suasana jelang 17-an di salah satu daerah, bukan di Madina.

Seolah lupa, mereka juga punya tugas sekadar mengimbau atau mengingatkan masyarakat agar memasang bendera setiap peringatan hari-hari besar nasional, setidaknya pada setiap menyambut hari HUT kemerdekaan RI.

Padahal memasang bendera merah putih pada hari-hari besar nasional, bukan tradisi, tapi suatu kewajiban sebagai warga negara. Berdasarkan Pasal 7 (3) UU No.214 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, disebutkan bendera negara wajib dikibarkan pada setiap peringatan hari kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus.

BERITA TERKAIT  Dahlan Hasan, dari “Kubangan Lumpur”, yang Lupa Bersyukur

Pasal itu menyebutkan, bendera wajib dikibarkan warga negara yang menguasai hak penggunaan rumah, gedung atau kantor, satuan pendidikan, transportasi umum, dan transportasi pribadi di seluruh wilayah NKRI, dan di kantor perwakilan RI di luar negeri.

Jadi jelas, bukan tradisi, Tapi ada ketentuan yang mengharuskan. Bahkan, UU itu menjelaskan, pemerintah daerah memberikan bendera negara secara gratis kepada warga yang tidak mampu.

Selaku Warga Negara Indonesia (WNI), khususnya yang berdomisili di Madina, sudah sepatutnya memasang bendera setiap hari-hari besar nasional. Bagi yang tidak mampu beli, bisa minta bendera gratis dari pemerintah daerah seperti diatur undang-undang.

Tidak baik kita menunggu ditegur aparat pemerintah, baik ketua RT/RW atau kelurahan/desa, karena mereka sendiri belum tentu tahu tentang kewajiban memasang bendara pada HUT RI.

Ketentuan menyebutkan, mereka yang tak mengindahkan aturan mengenai kewajiban memasang bendera pada saat 17-an bisa dipidana kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sesuai ketentuan tipiring (tindak pidana ringan).

Hendaknya kita tidak melihat soal sanksi, tapi suatu kesadaran dan rasa tanggung jawab sebagai anak bangsa yang memahami nilai-nilai perjuangan para pendahulu dalam menegakkan NKRI.

Memasang bendera pada 17 Agustus merupakan bentuk perjuangan kita mempertahankan tanah air. Sekaligus ajakan terhadap generasi muda untuk turut menjaga dan mencintai bangsa. Pernahkah kita berpikir jika sekarang saja rasa nasionalisme itu mulai pudar, bagaimana dengan generasi mendatang.

Pernahkah kita sekadar mengenang kembali bagaimana para pejuang dan rakyat Indonesia pada masa lalu memperjuangkan agar bangsa ini merdeka dari cengkeraman penjajah.

Pernah kita sekadar membayangkan kucuran darah dan jutaan anak bangsa meregang nyawa hanya untuk merebut kemerdekaan, yang sekarang kita nikmati.

Lalu, kenapa masyarakat Madina terkesan enggan memasang bendera saat hari-hari besar nasional? Hanya warga Madina juga yang bisa menjawab.

Terakhir, Semoga tulisan ini mampu sekadar mengingatkan kita semua, termasuk instansi terkait di Pemkab Madina yang selama ini lalai melakukan tugasnya di bidang ini…

penulis: jurnalis

BERBAGI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here