LUGU, polos, dan merasa paling merdeka. Merdeka bukan lantaran sudah memiliki segala-galanya. Merdeka, bukan juga ia bebas dari belenggu penjajahan. Tidak
Ia merasa merdeka karena tak pernah silau kemewahan. Tak ambisius, serta nrimo apa adanya. Itulah sekilah gambaran sosok “Si Naknun”.
“Si Naknun”, begitu ia disapa. Naknun seorang pemuda kampung na dongdongon. Ia tergolong “pinggiran” jika dikaitkan kondisi masa kini. Era dimana bahagia diukur dari gaya dan penampilan, bukan dari hati dan jiwa yang damai.
“Oih, ulang dabo paoto-oto mukomu, bere. Manetek naron dong-dongmu, tarsilandit iba,” ejek paman.
Naknun jauh dari gaya gemerlap. Jangankan selffy, android saja ia tak kenal. Berkawan dengan ayam atau burung, suatu kebahagiaan tersendiri baginya.
Campong ale campong, urat ni galinggang laut on, jaru pe na layas bayo on, parjagal manuk do saulak on.
Campong ale campong, digirik kotok arambir on, pala magodang manuk on, tuor ni boru do saulak on.
Sudah langka kita melihat seorang pemuda mengantar “rantang” kepada orang-orang tercinta. Pun sudah tak terdengar lagi orang Mandailing menyampaikan isi hati kepada pujaan hati pakai untaian pantun. Jarang, bahkan (mungkin) tak ada lagi–Muda dung i salong simarata, i korot bulung ni paria, muda dung i solong mata, di balik tor laing nida.
Satu lagi, tidak ada lagi tradisi markusip, seperti dulu dilakukan ayah atau ompung-ompung ta. “Amporik di Mandalasena, na songgop tu bulu barigit, ubolus dei anggi sudena, sadia pe rongom ni rongit,” bisik “Si Naknun” dari luar dinding.
“Oi, angkang. Ibo roangku baya. Sondia mantong baya ningku,” kata Tiara.
Naknun melanjutkan, “Amporik anggi da habang, longonan bulan di langit, sugari adong abit salendang, so dong pangirap ni rongit.”
Potret drama “Si Naknun” yang masih kerap kita saksikan pada era sekarang adalah markombur alias ngerumpi ibu-ibu di tapian sembari cuci pakaian, cuci piring atau mengambil air untuk minum dan masak di rumah.
Itulah sebagian sosok Naknun dalam pentas drama “Si Naknun” yang berlangsung pada, Senin (4/10-2021), di Laboratorium Seni SMAN 2 Plus Panyabungan, Mandailing Natal (Madina), Sumut..
Pentas drama “Si Naknun” dipersembahkan Sanggar Samirasa, Forum Penulis Madina, dan Sanggar Tano Sere SMA Negeri 2 Plus Panyabungan. Naskah “Si Naknun” ditulis budayawan Mandailing: Askolani Nasution.
Pertunjukan bertema “Si Naknun” dikemas tiga pagelaran: tari budaya, drama, dan monolog. Ketiganya mengekspresikan tokoh Naknun dengan kesederhanaan, keluguan, serta kepiawaiannya mengungkapkan isi hati melalui bahasa pantun.
Erwin Parsaulian Lubis, pemeran Naknun, benar-benar mampu menunjukkan sosok “Si Naknun” serba apa-adanya. Bukan ada apanya. Tidak ada kesan dibuat-buat.
Pengalaman dalam beberapa film produk lokal, seperti: Biola Na Mabugang (bagian 1,2,3 dan 4); Biografi Willliem Iskander, Marina; serta Janji Suci menjadi modal besar bagi Erwin dalam melakoni figur Naknun.
Meskipun soal akting bagi Erwin bukan baru, sebelum tampil ia tetap banyak mempelajari karakter maupun psikologis tokoh yang hendak diperankan.
“Kalau soal sosok Naknun, mungkin bagi saya sebagai orang desa tak asing. Naknun potret pemuda kampung miskin harta dan pendidikan,” ujarnya.
Sebelum pementasan, lelaki kelahiran Tambangan, 2 Pebruari 1980, ini sengaja menonton film Alex Komang dan Butet Kartaredjasa melalui youtube. Sebab, karakter yang biasa diperankan kedua aktor itu agak mirip dengan sosok Naknun.
Penampilan yang tak kalah baik juga dipertontonkan Ghina Ulfah Fadhilah Lubis, pemeran Tiara dalam drama durasi 45 menit ini.
Siswa kelas XI IPA-1 yang tinggal di Kotanopan mampu membius mata penonton tak berkedip. Aktingnya menggoda dan memukau. Ia pandai mengeksplor rasa cintanya pada “Si Naknun” melalui narasi serta gestur meyakinkan. Padahal, ia masih usia remaja.
“Au da, Taing, naso utanda dei Soekarno. Lupak tu lupak do balusonku pe. Pala na nasib nimu, nasib ma. Sendiri ningia, sendiri ma. Lek na sada iba dontong,” Naknun memelas .
“Rap dabo ita, angkang, sanasib sapananggungan, saulos saparnipian,” ujar Tiara genit.
“Alang tong roa niba dai. Maila bage iba,” Si Naknun malu-malu.
Gina lihai menjadikan drama lebih hidup dan menghibur. Sesekali ia menggoda Naknun dengan tingkah polah, tutur kata maupun bahasa tubuh. “Jabat dabo di roa on, anggi, nga mago be ngon ate-ate niba i,” ujar Naknun.
“Hum… gabus!” Tiara manja.
Drama ini bisa sebagai potret pemuda lugu yang mampu membuat “bunga desa” jatuh cinta padanya. Bujing-bujing Mandailing yang kasmaran terhadap poso-poso kampung, yang tak punya apa-apa, kecuali ayam dan burung—“On mada manuk rangga balian i, Naknun. Ganop markauak, marsiligi mai boruna. Dua kali ia markauak, dua kali muse ia kawin
Pentas drama ini makin memukau lantaran didukung audo visual, kolaburasi antara suara, adegan panggung dan pencahayaan.
Drama sangat pas ditonton masyarakat Mandailing, terutama perantau yang rindu khasanah tanah kelahiran. ”Imada da so maringanan iba. So adong pardahan niba. Anggo nantulangmu, jado ida ho, laos patubion manuk pe iba, diopoli ia dei unyalon niba.”
“Saya bangga melihat penampilan para pemain. Ini menjadi bukti, Madina punya potensi dalam dunia akting. Tetapi kita tidak punya media yang mumpuni mengembangkan bakat mereka,” kata Askolani kepada Beritahuta.
Selamat Bung Askolani, aplaus dari saya untuk Anda! (*)
Akhiruddin Matondang