BERBAGI

PENDEKNYA, orang tidak melihat akan seperti apa kabupaten baru itu dapat mengubah hidup mereka. Petani hidup enak masa itu. Harga karet sampai 20-an ribu. Harga kakao meningkat tajam.

Orang-orang sudah membangun rumah baru dan kendaraan baru sebelum kabupaten Madina berdiri. Ketika di kota orang-orang menjadi miskin karena krisis moneter, orang di kampung merasa dapat berkah. Karena harga komoditas mereka naik pesat seiring naiknya kurs USD.

Tapi benar kata Amru Daulay. Saat itu lampu jalan buram. Jalan tanpa trotoar. Pasar kumuh.  Tingkat kemiskinan, entah. Jalan sempit berdesakan tanpa tratoar, benar! Karena itu Amru Daulay memecah jalan pusat kota Panyabungan menjadi dua jalur dengan trotoar. Dan sampai sekarang jalan itu tidak berubah setelah 24 tahun. Masih tratoar yang sama. Tanpa hutan kota!

SMK yang waktu itu hanya dua unit saja berstatus negeri (SMK Negeri Kotanopan dan SMK Negeri Panyabungan), ditambah. Mulai dari SMK 3 hingga 7.  Mobiler sekolah bertambah, ruang kelas baru bertambah. Itu setara dengan naiknya pertumbuhan Angka Partisipasi Sekolah.

Pendidikan menjadi sektor yang amat diperhatikan. Amru Daulay beberapa kali berbicara tentang Mandailing sebagai pusat pendidikan di masa lalu, dan mesti ditumbuhkan lagi. Termasuk pendirian STAIM sebagai Badan Layanan Umum Pemerintah Kabupaten. Juga pendirian SMA Plus di Kotanopan sebagai Pilot Project sekolah unggulan.

Guru-guru dipacu berprestasi. Guru-guru berbakat dikumpulkan. Ada penguatan terhadap organisasi Musyawarah Kerja Guru. Reward guru berprestasi sampai 20 juta. Ada perlakuan istimewa terhadap mereka, termasuk rekrutmen untuk jabatan sturuktural hingga beasiswa S2 bagi guru berprestasi.

Kecamatan dimekarkan hingga 23. Pemkab berkali-kali melirik hutan dan kekayaan alam sebagai potensi yang luar biasa. Pendeknya, pemerintah Mandailing Natal dari daerah kabupaten mini dengan pagu anggaran Rp100 juta, tumbuh menjadi kabupaten besar dengan pagu pada akhir masa Amru Daulay mendekat satu triliun.

Bupati silih berganti dengan jargon yang berbeda-beda. Program pasang surut sejak 2011. Beberapa berubah sebagai keniscayaan saja. Gedung-gedung baru, toko baru, dan lain-lain. Tapi sekali lagi, hanya keniscayaan, bukan karena peran pemerintah daerah. Orang bikin unit usaha baru karena melihat peluang baru, dan ia punya modal. Bukan karena adanya regulasi daerah yang membuka peluang tumbuhnya peluang usaha-usaha baru.

BERITA TERKAIT  Bahaya Mengintai Santri Pesantren Musthafawiyah Purba Baru?

Mungkin angka kemiskinan menurun sesuai data statistik. Tapi, tidak signifikan dengan tumbuhnya angka kesejahteraan. Berbagai program bantuan sosial digelontorkan, terutama karena kebijakan covid-19. Tapi, hanya program “bagi-bagi uang” gaya orang berduit. Bukan sebagai sarana pemberdayaan ekonomi ummat. Karena tidak pernah ada indikator berapa angka kesejahteraan ketika sebuah keluarga memperoleh bantuan seratus ribu rupiah setiap bulan, misalnya. Kita membuat saja tanpa kalkulasi yang terukur. Karena itu, tidak ada yang berubah fondasi ekonominya setelah menerima berbagai bantuan itu. Kemiskinan tetap menjadi beban sosial secara faktual.

Program Dana Desa yang ada sejak tahun 2015, yang idealnya menjadi penolong yang luar biasa untuk membangun fondasi ekonomi kerakyatan, juga tidak signifikan. Program itu tidak jauh beranjak dari upaya-upaya murahan untuk menyulap gang becek menjadi rabat beton. Menyulap kantor kepala desa berdinding papan menjadi gedung megah. Menyulap gapura desa menjadi berkilau lampu layaknya masuk kasino di Las Vegas. Menyulap gedung MDTA, jamban, dan berbagai program fisik lainnya. Masih ingat kan? Ada jamban seharga 240 juta!

Program fisik itu layaknya gaya orang yang baru saja menang lotere. Mendadak bangun rumah, beli kendaraan, dan kemewahan fisik lain yang segera terlihat. Bukan menumbuhkan potensi ekonomi baru, sebagaimana mestinya berpikir sehat.

Dana Desa seakan-akan bagi-bagi THR rutin yang peruntukannya untuk belanja enak. Padahal, dana yang nyaris satu miliar per desa tiap tahun itu, idealnya mampu mengembangkan potensi-potensi ekonomi baru bagi rakyatnya. Misalnya, dengan pengembangan UMKM, pengembangan teknologi pertanian sederhana, peningkatan profesionalisme tenaga kerja kreatif, pengembangan desa adat, dan seterusnya. Delapan tahun anggaran yang demikian besar tidak signifikan untuk memandirikan desa.

Ada BUMDes, tapi tidak pernah lahir dari kajian yang komprehensif. Program itu hanya berorientasi cepat saji, dan gampang dibuat SPJ-nya. Lihat saja, satu kecamatan programnya nyaris sama. Misalnya memproduksi air galon. Emang siapa yang butuh air begituan. Cuma orang yang tidak punya sumur, ya kan?

Tidak pernah ada usaha bagaimana program itu melibatkan orang-orang kreatif. Atau menghasilkan produk yang kreatif dan mampu bersaing di pasar bebas. Tidak juga mengakomodir usaha-usaha mikro yang sudah tumbuh di desa itu: penjual krupuk singkong, penjahit, tukang servis elektronik, dan lain-lain. Seolah-olah Bumdes hanya dibentuk untuk ladang baru bagi orang-orang di lingkaran pemerintahan desa.

BERITA TERKAIT  Mengenang Perjalanan Bersama Pak Amru...

Berapa tahun kita mengembangkan sektor pariwisata? Dua puluh tahun lebih! Mana objek wisata kita yang berdaya saing? Jangankan yang dapat menjadi sumber PAD, yang dikenal luas saja tidak ada, selain bagi kita di kabupaten saja. Di tataran konsep saja kita tidak benar, konon lagi aplikasinya. Kalau konsepnya benar, setidaknya objek wisatanya bisa produktif, bukan hanya sebatas keniscayaan saja layaknya kontekstualitas pariwisata kita hari ini. Misalnya, mana ada agenda tahunan wisata yang melibatkan banyak kabupaten kota? Jangan dulu bermimpi adanya event internasional.

Pendidikan? Masih kalah jauh kita dibanding kondisi sekolah di Mandailing masa kolonial. Ada rupanya sekolah sehebat Kweekschool Tano Batu yang berdiri tahun 1862 itu? Atau sekelas SD Kotanopan dan SD Muarasipongi yang guru-gurunya di masa kolonial menjadi penulis mashur semacam Sutan Pangurabaan Pane (ayah Sanusi Pane), Soetan Gunung Moelia (Menteri Pendidikan, pengganti Ki Hajar Dewantara), M. Kasim Dalimunthe (Bapak Cerpen Indonesia)? Atau generasi semacam Prof. Dr. AP Parlindungan, Andi Hakim Nasution? Lulusan kita sepanjang 1999-2023 mana?

Budaya? Ribuan kali kita usung jargon “Negeri Beradat Taat Beribadat”. Pemajuan budaya apa di sini yang ada selain gordang sambilan? Mana cagar budaya yang dipugar? Mana gedung budaya yang representatif? Mana museum? Mana warisan budaya yang kita wariskan? Mana data digital tentang kekayaan budaya kita yang bisa diakses publik?

Berapa cagar budaya kita yang punah? Berapa yang hilang? Berapa arsip penting yang tidak terdigitalisasi? Berapa ikon budaya yang belum pernah kita sentuh? Panjang sekali ceritanya kalau soal tanggung jawab kebudayaan.

Terlalu banyak yang belum kita lakukan untuk usia 24 tahun Madina. Beberapa hal memang patut kita syukuri, tapi jauh lebih banyak yang harus dibenahi. Dan itu butuh kajian bersama, program yang terukur, tentu juga dukungan APBD yang layak. Lebih dari itu, juga butuh kerja besar dan bersama-sama.

Selamat Ulang Tahun ke-24 Kabupaten Mandailing Natal… (HABIS)

Penulis: Budayawan Mandailing dan Dewan Redaksi Koran Beritahuta

BERBAGI