BERITAHUta.com—Bahasa Mandailing diambang kepunahan. Jika tidak ada upaya-upaya tertentu yang dilakukan pemerintah, tidak menutup kemungkinan dalam sepuluh tahun kedepan Bahasa Mandailing tinggal kenangan.
Hal itu dikatakan Budayawan Mandailing Askolani Nasution pada acara talk show yang diadakan FMMB (Forum Mandailing Maju dan Bermartabat), di Hotel Abara, Panyabungan, Minggu (10/3). Kegiatan ini bertema: Refleksi dan Rekomendasi 20 Tahun Madina.
Menurut Askolani, pemerintah selalu berpikir bahwa keberhasilan daerah identik dengan kemajuan ekonomi dan membangun infrastruktur, dan lain sebagainya. Tidak ada yang berpikir kebudayaan adalah hal penting. “Salah satu budaya daerah tersebut adalah bahasa daerah,” katanya.
Pendiri Sanggar “Tympanum Novem”menyebutkan, punahnya bahasa Mandaling antara lain disebabkan dominasi bahasa lain. “Tanpa disadari orangtua mengajarkan anaknya meninggalkan bahasa daerahnya. Alhasil bahasa daerah makin terpinggirkan. Entah kenapa hal ini sampai terjadi,” ujarnya.
Belum lagi bicara soal aksara tulak-tulak, yang maksimal hanya dipahami satu persen penduduk Madina. “Kenyataan ini sangat menyedihkan,” katanya.
Saat ini, lanjut Askolani, budaya kita dalam kondisi memprihatinkan. Banyak naskah-naskah klasik Mandailing yang hilang karena tidak terdokumentasikan, atau sebagian di luar negeri. Sementara, boleh dikatakan tidak ada sastra baru Mandailing dan sastra etnik lain di kawasan Madina.
Hal itulah yang menyebabkan banyak peninggalan bersejarah di Madina rusak akibat tidak ada keinginan serius menggali kekayaan khasanah budaya daerah.
Ia mencontohkan entitas kebudayaan Madina yang diambang kepunahan, antara lain: manuskrip, tradisi lisan Mandailing, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, dan seni.
Hingga saat ini tidak pernah ada dokumentasi manuskrip Mandailing, Bahkan, belum pernah ada transliterasi atas naskah-naskah manuskrip yang kita miliki.
Mengenai ritus, yaitu: prosesi adat hanya tampak dalam pernikahan, pemberian marga dan gelar. Ini juga tidak ada keseragaman dalam berbagai proses adat-istiadat antara satu daerah dengan daerah lain di Madina.
Jenis-jenis ritus terdiri: paturun daganak, pabagaskon (mangalap boru dan pabuat boru), patabalkon goar dohot marga, serta mangupa.
Menurut Askolani, ada berbagai jenis seni tradisional yang tidak dipahami lagi bentuk dan komposisinya, baik di bidang seni musik, seni tari, seni ukir dan pahat, seni tembikar, seni kuliner, seni busana, dan lain-lain.
“Sulit menemukan orang yang masih menguasai berbagai jenis seni tradisional,” kata budayawan yang sudah banyak menerima penghargaan dari berbagai lembaga ini.
Mengenai persoalan-persoalan tersebut, Askolani memandang perlu mendorong pemerintah daerah dalam penguatan kebudayaan Madina melalui dukungan politik anggaran, kebijakan, dan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, mendorong penguatan peran masyarakat melalui dukungan kebijakan dan anggaran desa. Membuka hubungan penelitian dengan perguruan tinggi dalam dan luar negeri serta lembaga ekstra universitas.
“Juga perlu membuka hubungan registrasi cagar budaya dengan pemerintah pusat melalui Balai Arkeologi, Balai Bahasa, Balai Pelestarian Nilai Budaya, dan lembaga terkait di kementerian,” katanya. (tim-01)