Jelang Pemilu, 14 Februari 2024, Ketua Program Doktor Universitas Medan Area) Prof. Ir. Zulkarnain Lubis, MS.,P.hD., menyampaikan pemahaman terhadap kita bagaimana cara memilih pemimpin yang baik.Antara lain dia menyebutkan, kita ini sedang mencari figur pemimpin, bukan mencari pelawak. Bukan juga mencari pemain sinetron yang dikendalikan seorang sutradara.
Supaya lebih jelas, berikut petikan sebuah “testimoni” dari sang profesor. Semoga bermanfaat.
TIDAK lama lagi, kita menunaikan kewajiban sekaligus hak sebagai warga negara. Yaitu, memilih pemimpin bagi bangsa ini. Ketika hendak menentukan pilihan terhadap para calon pemimpin yang ada, mungkin kita sudah memiliki kriteria di hati masing-masing.
Bisa saja memilih berdasarkan pertimbangan objektif, subjektif, atau gabungan keduanya. Bisa terpesona “kulit luar”, tapi bisa juga lantaran gaya, atau kita tergoda perilaku dan tingkah laku atau genitnya, goyangannya, atau tertarik penyampainnya.
Mungkin juga tergoda bujuk rayu. Terhipnotis tutur katanya, atau kagum pada pemikiran dan wawasannya. Sebagian lagi manut karena iming-iming yang janji, fasilitas diberikan, atau disebabkan sejumlah rupiah.
Dari berbagai hal yang mungkin menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan, muncul pertanyaan, manakah paling tepat dan sesuai. Lalu, apa sebaiknya sebagai pertimbangan dalam menentukan pilihan.
Sebelum menjawab hal itu, perlu diketahui terlebih dahulu apa semestinya yang mau kita dapat dari seorang pemimpin.
Apa tugas pemimpin, apa fungsi pemimpin, dan apa peran pemimpin terhadap rakyat dan negara yang dipimpin.
Dengan tugas, fungsi, dan peran diharapkan tersebut, kita dapat membandingkan dan mengamati para calon pemimpin yang ada, manakah di antara mereka yang dianggap lebih mampu menjalankan tugas yang hendak dikerjakan.
Dari beberapa literatur tentang kepemimpinan, tugas seorang pemimpin adalah memimpin (direct), membimbing (guides), memengaruhi (influence), atau mengontrol (control), pikiran, perasaan atau tingkah laku orang lain, serta menggerakkan orang lain bekerja menuju sasaran diinginkan.
Sebagai pemimpin sebuah negara tentu tugasnya memimpin rakyat, membimbing mereka, memengaruhi, dan mengontrol pikiran, perasaan, dan tingkah laku mereka, serta menggerakkan seluruh rakyat agar menjadi harmonis dan bekerjasama menuju sasaran diinginkan bangsa ini.
Tentu saja bagi bangsa Indonesia, tujuan atau sasaran hendak dicapai sesuai Pancasila dan UUD 45, yaitu terwujudnya masyarakat berketuhanan Yangmaha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab. Terwujudnya persatuan Indonesia berasaskan kerakyatan yang dipimpin hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 45 dinyatakan secara jelas negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Tentu inilah yang mesti menjadi amanah bagi pemimpin bangsa yang wajib diwujudkan pemimpin.
Dalam mencapai sesuai amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 45, seorang pemimpin nasional harus memahami perannya yaitu menentukan visi bangsa, yang tanggung jawab utamanya berada pada dirinya, menghidupkan dan menjalankan nilai-nilai (values) yang akan diimplementasikan bawahan dan rakyat.
Tak itu saja, memimpin perbaikan berkelanjutan terhadap seluruh aspek dan lapisan masyarakat. Untuk itu diperlukan pemimpin memiliki kepemimpinan kuat. Mengedepankan penggunaan akal, rasa, dan hati, serta punya kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual secara seimbang.
Selain itu, pemimpin yang dipilih adalah memiliki kemampuan manajerial, sehat lahir dan batin, dan tentu saja memiliki integritas.
Karena kita mencari pemimpin negara yang akan mewujudkan kesejahteraan, keselamatan, kedamaian, kebahagiaan baik material maupun spiritual, dan menjadi kebanggaan sebagai sebuah bangsa sebagaimana tergambar dalam Pancasila dan UUD 45, maka mestinya kriteria dan indikator yang digunakan bukan lagi semata-mata pada pertimbangan subjektif, emosional, pragmatis, tetapi lebih mengutamakan objektif, rasional, dan spiritual.
Pertimbangan objektif-rasional-spritual tidak lain tentang pertimbangan akal, rasa, dan hati dari calon pemimpin yaitu mindset-nya baik, berpikir secara rasional, menggunakan nalar, berpikir jernih dan objektif, memiliki kepekaan terhadap kepentingan dan aspirasi rakyat.
Selanjutnya memiliki empati terhadap kesusahan dan penderitaan rakyat, mendengar jeritan dan keluhan rakyat, dan dapat merasakan apa yang dirasakan rakyat.
Pemimpin yang dipilih semestinya menggunakan hati dalam memimpin, yaitu berakhlak, bermoral, dan beretika. Hati nuraninya hidup, dipercaya dan mempercayai bawahan dan rakyat. Berkomitmen terhadap tugas dan tanggungjawabnya, Mengedepankan cinta dan kasih sayang terhadap bawahan dan rakyat.
Mengedepankan kejujuran, yang memiliki niat bersih serta tulus dan ikhlas, serta mampu mengendalikan diri. Sosok demikian tentu ditemukan pada pemimpin yang mampu mengkombinasikan akal, rasa, dan hati yaitu pemimpin yang mampu menjadikan kerjasama sebagai kekuatan, realistis terhadap keberagaman, sejalan antara perbuatan dan perkataan, dan bisa menjadi teuladan bagi bawahan dan rakyat.
Intinya pemimpin yang baik adalah dia mampu mengkombinasikan akal, rasa, dan hati. Kita perlu mencari pemimpin cerdas tapi tidak membuat orang lain merasa bodoh, cepat bertindak sekaligus orang penyabar.
Dia sosok pemberani, namun selalu didahului perhitungan matang dan tidak nekat. Tegas dalam bertindak tetapi tidak menimbulkan rasa takut. Memiliki disiplin tinggi, rasional sekaligus religius.
Memiliki banyak kesibukan tapi bersahabat dan kekeluargaan. Bisa tampil sebagai pembicara sekaligus pendengar yang baik. Memiliki sifat dan sikap kepelayanan tapi tidak selalu menuntut untuk dilayani.
Pertimbangan dalam menentukan pilihan tentu juga dia terbuka terhadap kritikan. Memberikan kebebasan terhadap bawahan dan rakyat menumbuhkan kreativitas, serta melibatkan bawahan mengambil kebijakan.
Berperan sebagai problem solver, bukan sebaliknya sebagai trouble maker. Mampu berperan sebagai motivator, komunikator, mediator, dan integrator. Bukan menjadi kompor, provakator, apalagi jadi penebar teror dan suka main “kotor”.
Pertimbangan dalam memilih pemimpin yang bisa menjadi panutan merupakan pertimbangan penting, karena ibarat peribahasa: air bersih dan sapu bersihlah yang bisa membersihkan. Jika digunakan air kotor atau sapu kotor, malah membuat lebih kotor lagi.
Air bersih di hulu, memberi peluang bersih di hilir. Tetapi jika di hulu air sudah kotor, dipastikan di hilir juga kotor.
Ibarat ikan, jika kepalanya busuk, busuklah seluruhannya. Namun sepanjang kepala masih segar, badan lainnya juga tetap segar.
Sekali lagi, gunakan akal, gunakan rasa, dan gunakan hati nurani dalam menentukan pilihan terhadap calon pemimpin yang ada. Pilihlah pemimpin dengan mempertimbangkan substansi yaitu kepemimpinan, kompetensi, kapasitas, dan kualitas. Bukan kulit, bukan bungkus, dan bukan tampilan luar.
Ingatlah kita sedang mencari pemimpin, bukan mencari penghibur, bukan mencari pelawak, bukan ajang pencarian bakat, bukan pula mencari pemain sinetron yang bisa berperan sesuai kehendak sutradara.
Pilihlah yang baik dan benar. Betul-betul baik dan betul-betul benar, bukan yang sekadar terlihat baik atau nampaknya benar. Jika di antara ketiganya sama-sama baik dan sama-sama benar, pilihlah yang paling baik dan paling banyak memiliki kebenaran.
Jika ketiganya dinilai tidak benar dan tidak baik, pilihlah yang paling sedikit ketidakbenarannya dan paling sedikit ketidakbaikannya.(*)
Editor: Akhir Matondang