KAMIS malam (8-6-2023), sekitar pukul 19.44, Buyung Umak (BU) yang mempunyai nama lengkap Sapihuddin menulis suatu kalimat curahan hati tentang perkembangan tuntutan kebun plasma warga Singkuang 1, Kecamatan Muara Batang Gadis (MBG), Mandailing Natal (Madina), Sumut di suatu grup WhatsApp.
Curahan hati ketua Koperasi Perkebunan Hasil Sawit Bersama (HSB), itu yakni, “Rekomendasi DPRD Madina, 31 Maret 2023 tentang Pemberian Sanksi kepada PT. Rendi Permata Raya baru dijawab Pak Bupati, 31 Meri 2023 dan baru sampai ke meja pimpinan dewan 07 Juni pas kami lagi berorasi di DPRD Madina. Kami lihat jawaban Pemkab sedikit pun tdk ada menyentuh pada substansi rekomendasi DPRD kami tetap meminta supaya semua pihak dapat menguatkan tuntutan kami.”
Tak lama kemudian BU memposting tiga surat bentuk pdf terkait tuntutan mereka terhadap PT Rendi Permata Raya (RPR). Entahlah surat apa saja, saya tidak sempat buka. Pastinya, anggota grup menyikapi dingin postingan BU. Tak seorang pun memberi komentar. Dibiarkan bak angin lalu. Sepertinya, mereka lebih suka membahas topik lain yang lagi ramai di tengah masyarakat, termasuk soal kasus dugaan penganiayaan di halaman kantor Satpol PP Madina.
Pukul 19.48, rekan seperjuangan BU, May Moon Nasution memposting link berita terkait unjuk rasa warga Singkuang 1 di kantor bupati Madina berjudul, “Surat Cinta untuk Bupati Madina, Kaum Ibu Singkuang I Minta Realisasikan Hak Plasma Ratusan Haktare.”
Pada waktu hampir bersamaan, May Moon memposting kembali kalimat curahan hati BU secara utuh. Copy paste-lah, termasuk pdf suatu surat yang sudah di-share BU beberapa menit sebelum. May Moon juga membagikan tiga rekaman video aksi demo yang dilakukan warga di kantor bupati pada, Kamis (8-6-2023).
Sampai pukul 22.53, setidaknya saat saya menulis artikel ini tak seorang pun anggota grup WhatsApp itu memberi komentar terkait unggahan BU dan May Moon.
Sikap anggota grup ini berbeda jauh jika dibanding saat warga Singkuang 1 masih awal melakukan demo tuntutan kebun plasma di pintu gerbang PT RPR di Desa Singkuang 1 beberapa waktu lalu. Saat itu, begitu menggebu dukungan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk suport dari sejumlah advokat dari berbagai daerah di Indonesia.
Seolah seirama, pemberitaan soal tuntutan warga Singkuang 1 pun tak lagi menarik bagi para rekan-rekan wartawan. Bisa saja, mereka melihat rating pembaca berita soal ini makin menurun. Tak lagi ‘mempesona’, seperti awal-awalnya.
“Bukan saya tak mau menulis. Tuntutan warga terkesan berlebihan. Mereka hanya mau menang sendiri tanpa memperhatikan niat baik PT Rendi. Pemkab juga sudah berjuang maksimal, mau apalagi,” ujar seorang jurnalis saat bincang-bincang mengenai hal ini pada, Rabu (7-6-2023).
Dia menambahkan, PT RPR sudah bersedia memberikan 200 hektare di lahan HGU mereka, sisanya berada di luar HGU sehingga total 600 hektare. Itu pun tetap ditolak. “Karena itu patut diduga BU dan kelompoknya ada misi tertentu dengan mengatasnamakan anggota Koperasi HSB.”
Jika dugaan si wartawan betul, alangkah malangnya nasib warga. Entah sudah berapa malam mereka tidak tidur di rumah sejak aksi dilakukan kali pertama di pintu gerbang PT RPR. Entah sudah berapa hari mereka tidak kerja mencari nafkah gegara ikut unjuk rasa, dan entah sudah berapa uang mereka keluarkan untuk kegiatan ini. Uang siapa itu. Warga, apa mungkin.
Oleh sebab itu, kita berharap masyarakat membuka mata, telinga dan hati. Bukankah tuntutan kebun plasma sudah dipenuhi PT RPR dengan total 600 hektare. Yakni, 200 hektare di dalam HGU, sisanya di luar HGU dalam wilayah MBG. Tinggal persoaan, di luar dan di dalam HGU.Ada pihak yang tak puas, wajar, namanya tuntutan tidak dipenuhi seutuhnya.
Namun, sejatinya bagi warga pemilik plasma, mau di luar atau di dalam HGU tak begitu penting amat. Dia hanya perlu memastikan lahan yang ditanam memenuhi syarat supaya hasil panen sesuai harapan. Selain itu, memastikan dapat sertifikat supaya menjadi jaminan baginya sebagai pemilik lahan plasma.
Emang warga mau garap lahan plasma itu. Tentu saja tidak, apalagi pihak perusahaan sudah menyatakan masyarakat tinggal duduk manis alias ongkang-ongkang menunggu hasil. Hal ini sejak belasan tahun lalu tak didapatkan, dan sekarang ada di depan mata. Nikmat apa lagi yang kau dustakan.
Oke, kita anggap perusahaan memberi 300 hektare–bukan 200 hektare– dalam HGU sesuai tuntutan warga, lalu siapa yang berhak mendapat lahan di dalam HGU tersebut. Apakah akan dinilai dari kadar perjuangannya dalam setiap aksi unjuk rasa, status dalam kepengurusan koperasi, aparatur desa, atau diundi. Ontahlah, ini juga berpotensi menimbulkan persoalan sebab tidak mungkin semua dapat di dalam areal kebun yang sekarang digarap PT RPR.
Ketika Ketua DPRD Madina Erwin Efendi Lubis menemui warga yang sedang demo di pintu gerbang perusahaan jelang Idul Fitri lalu, tampak warga begitu antusias mendengarkan berbagai solusi yang ditawarkan politisi Gerindra tersebut terkait penyelesaian tuntutan plasma, namun selalu tak dapat diterima BU dan kawan-kawan. Seolah pikiran dan hati tertutup rapat jika solusi tidak sesuai keinginan mereka. Tidak ada tuntutan lain kala itu, kecuai: cabut izin PT RPR atau 50 persen kebun plasma harus dalam HGU.
Lalu timbul pertanyaan, sebenarnya Koperasi HSB mau “membunuh” PT RPR atau hendak mendapatkan plasma. Saya yakin masyarakat Singkuang 1 tahu jawabannya, namun mereka tak berani bersuara lantaran resikonya terlalu besar.
Kini ibu-ibu, bapak-bapak, kakek-kakek, nenek-nenek, bahkan sekitar 10 anak-anak harus berselimut dinginnya malam kawasan gedung DPRD Madina di Komplek Payaloting. Kita berharap tidak ada di antara 100-an warga itu terserang penyakit. Jika di antara mereka sakit, siapa tanggung jawab.
Wahai saudara-saudaraku, saya tak mengenal kalian. Kalian juga pasti tidak mengenal saya, sama halnya pihak PT RPR juga tak mengenal saya. Tetapi Allah Swt menakdirkan kita hidup di atas suatu daerah bernama Mandailing Natal, mengirup udara di alam Bumi Gordang Sambilan yang memiliki lahan yang subur dan kaya raya. Kata orang Sunda: gemah ripah loh jinawi.
Bukalah hati sejenak saja. Syukuri nikmat yang bakal didapat, itu pastilah menghasilkan keberkahan. Keserakahan pasti tak akan membawa kebaikan. Bayangkan, kalau seandainya lahan plasma yang bakal diberikan PT RPR kepada warga Siangkuang 1 diterima lapang dada, percayalah bakal ada suatu kebaikan didapatkan masyarakat di Singkuang 1.
Sekadar gambaran saja, jika dari 600 hektare lahan plasma yang didapat 300 kepala keluarga (KK) menghasilkan Rp5 juta per bulan—hitungan minimal—per KK, maka uang yang beredar di Singkuang 1 mencapai sekitar Rp1,5 miliar setiap bulan. Ini jumlah sangat fantastis untuk ukuran desa.
Peredaran uang itu belum termasuk jika anggota plasma meminjam modal usaha memanfaatkan sertifikat plasma melalui koperasi. Tentu saja geliat ekonomi masyarakat makin bergairah, dan pada akhirnya harapan masyarakat meningkatkan kesejahteraan bisa menjadi kenyataan.
Itu harapan kita. Alangkah sia-sianya perjuangan, jika kelak yang didapatkan akhirnya hanya pepesan kosong, bahkan tak menutup kemungkinan terjerat kasus hukum karena tanpa sadar dalam melakukan aksi ada rambu-rambu aturan yang dilanggar.
Ini hanya sekadar mengingatkan, tidak ada maksud apa-apa. Tak ada salahnya kita mengalah untuk menang. Egois, mau menang sendiri, jogal, jungal, dan apapun namanya tak bakal ada gunanya kalau toh pada akhirnya kalian berada dalam posisi yang kalah.
Saya ingat kalimat bijak: hanya orang serakah yang gampang kena tipu…
Akhiruddin Matondang