“APA ada yang merasa keberatan dan apa yang terjadi rupanya. Apa kerugian masyarakat. Apa ada yang macet, atau kalau ada dimana macetnya. Saya tidak bisa menjaga itu selama 24 jam.”
Kalimat tersebut disampaikan AKP Syamsul A. Batubara, kepala Satlantas (Kasatlantas) Polres Mandailing Natal (Madina), Sumut saat ia diwawancarai wartawan media online yang terbit di Madina. Wawancara itu dilakukan melalui sambungan telpon.
Dari pemberitaan tersebut, tampak jelas setiap jawaban yang diucapkan Kasatlantas beraroma arogansi, sombong dan angkuh.
Tak itu saja, rangkaian kata yang terucap terkesan emosional. Padahal si wartawan hanya bermaksud konfirmasi mengenai adanya 15 truk toronton berjalan iring-iringan melewat jalinsum pusat Kota Panyabungan pada, Kamis (7/4-2022) malam. 15 unit, itu bukan jumlah sedikit. Apalagi jenis toronton.
Memang, semestinya jalinsum pusat Kota Panyabungan tak boleh dilalui kendaraan barang roda enam atau lebih. Di ujung utara dan selatan jalur kota itu, ada plang verboden.
Tak boleh dilalui kendaraan barang beroda enam atau lebih, tepatnya dari perempatan titik kuning, Aek Galoga (bagian selatan) dan pertigaan RM. Ladangsari, Panggorengan (bagian utara). Seharusnya melewati jalinsum lintas timur, bukan lewat kota.
Dalam kaitan ini saya “terkesima” membaca arogansi Kasatlantas. Dikutip dari media online: MNC Trijaya Mandailing Natal yang terbit pada, Jumat (8/4-2022), sang pejabat Polres Madina yang menangani masalah lalu lintas, itu menyebutkan. “Apabila ada kesalahan di situ, tolong ajari saya. Saya ini hanya lulusan S-2 dari UI,” katanya.
Lebih lanjut disebutkan, “Kalau memang kamu (maksudnya wartawan yang mewawancarai-red) peduli, tolong sampaikan kepada masyarakat untuk berkendara pakai helm. Jangan-jangan kamu juga tidak pakai helm.”
Tidak dijelaskan dalam berita tersebut, apakah UI dimaksud akronim dari Universitas Indonesia, atau ada kepanjangan lain.
Justru dengan ungkapan yang “ngelantur” itu, sebagai masyarakat biasa atau selaku pekerja pers, sangat disayangkan keluar kata-kata bernada “tak enak” dan tak bersahabat dari seorang yang mengaku lulusan S-2 UI.
Sungguh tak terlihat intelektualitas, malah, maaf, terkesan sombong.
Saya tak habis pikir, jangan-jangan baru kali pertama Kasatlantas diwawancarai wartawan (lewat telpon). Maaf, saya sudah wartawan sejak 1991 di Bandung, dan 1997 sampai 2018 jurnalis di Lampung, banyak bersahabat dengan angggota polisi—dari berbagai pangkat dan jabatan, tapi baru kali ini tahu, ternyata ada polisi seperti Pak Syamsul A. Batubara.
Masih dalam wawancara di telpon itu, sang lulusan S-2 UI itu menyebutkan, “Tolong sampaikan kepada saya siapa yang keberatan. Kan tidak ada yang keberatan dan tidak ada masyarakat yang dirugikan dengan kejadian itu. Apa ada kontainer itu menabrak atau terguling hingga ada yang dirugikan,” ujarnya.
Rasaya pengen ketawa. Saya kira Pak Kasatlantas tahu, taat berlalu lintas itu bukan soal siapa keberatan, dan siapa tak keberatan. Bukan pula masalah siapa dirugikan. Apalagi dikaitkan harus menabrak, tidak. Saya tak bisa jelaskan ini, karena pasti bapak lebih tahu soal ini, apalagi sebagai alumni S-2 UI.
Lalu, ketika si jurnalis media itu menyebutkan jalinsum pusat Kota Panyabungan mestinya tak bisa dilalui kendaraan barang roda enam atau lebih, Kasatlantas, mengatakan KTL (kawasan tertib lalu lintas) hanya dari Polsek Panyabungan sampai pertigaan RM. Ladangsari.
“Jadi apa ada yang salah disitu,” ujar Kasatlantas.
Betul Pak Kasatlantas, KTL itu sepanjang Jl. Merdeka, Panyabungan. Tetapi mesti kita pahami, larangan jalur tidak boleh dilalui kendaraan barang roda enam atau lebih itu meliputi Jl. Merdeka, Jl. Wiliiem Iskander sampai titi kuning, Aek Galoga (atau sebaliknya).
Sementara, truk toronton itu melintas tak hanya di jalur KTL, tetapi juga di jalur “terlarang”, melalui Jl. Williem Iskander sampai titi kuning.
Pada bagian akhir wawancara, Kasatlantas terlihat makin emosional, “Kamu itu wartawan atau tidak. Apa yang kamu tanya kepada saya, apa mediamu itu resmi,” ujarnya.
Namun, tentu saja saya juga tidak tahu cara dan adab si wartawan mewawancarai Kasatlantas sehingga begitu “kalap” Kasatlantas menanggapi si pewawancara.
Pak Kasatlantas, pesan saya, jika memang wartawan yang hendak mewawancarai anda belum dikenal, tak salah tanya dulu namanya, dari media apa (berbadan hukum atau tidak), dan lainnya.
Ini sekadar saran daripada sepanjang wawancara timbul rasa tak resfek dengan si wartawan. Jika perlu tanya apakah dia sudah kompeten di bidang jurnalistik dan apa organisasi persnya.
Selanjutnya, hak anda untuk menentukan sikap, Bersedia atau tidak diwawancarai. Itu lebih baik, daripada melayani wawancara secara emosional. Maaf bukan menggurui Pak Kasatlantas.
Beruntung si wartawan tidak menjadikan “marah-marah” Kasatlantas sebagai teras/lead berita dia.
Berselang satu hari, Kasatlantas memberikan klarifikasi mengenai kasus truk toronton itu. Ia menyebutkan, sebenarnya polisi sudah memberhentikan 15 unit truk itu. Saat ditanya, rupanya mereka dikawal personil Polda Jawa Barat.
”Saya sempat panggil petugas yang kawal. Mereka perlihatkan surat perintah pengawalan. Lalu, minta maaf karena baru kali pertama melewati Madina. Tidak melihat ada rambu-rambu lalu lintas,” kata Kasatlantas kepada wartawan MNC Trijaya Mandailing Natal pada, Sabtu (9/4-2022).
Dia mengatakan iring-iringan truk itu tidak menimbulkan macet, sebab kondisi jalan sepi karena bertepatan waktu salat tarawih.
Rasanya mustahil ada 15 truk toronton “pawai” di dalam kota tak mengganggu arus lalu lintas. Tetapi ya udahlah, pasti Pak Kasatlantas lebih paham, namanya lulusan S-2 UI.
Yang jelas, saya menduga, kalau saja Si Budigil atau Si Budagal yang melanggar dengan alasan tidak lihat rambu, mungkin buku tilang pak polisi cepat dikeluarkan, entah lanjut ditilang atau tidak, wallahu aqlam bissawab. (*)
Akhiruddin Matondang