RABU menjelang siang. Saya membaca berita berjudul “Ini Penjelasan Atika Tentang Lingkup Tugas Tim Investigasi PLTP” yang dimuat Mandailing Online. Sumber berita adalah Atika Azmi Utammi, wakil Bupati Mandailing Natal (Madina), Sumut, yang juga, ketua Tim Investigasi insiden dugaan keracunan di PT SMGP
Dalam berita ditulis Atika menyebutkan, masyarakat belum memahami lingkup tugas Tim Investigasi Daerah yang melakukan investigasi pasca peristiwa dugaan paparan zat beracun di lokasi PT SMGP (Sorik Marapi Geothermal Power) pada, 6 Maret 2022.
Narasi pada teras berita itu sangat “menggelikan”. Wartawan sengaja membuat lead seperti itu, karena itulah inti dari isi wawancaranya dengan Atika. Hal ini sesuai struktur piramida terbalik dalam membuat straight news.
Sehingga kesimpulan dalam berita itu adalah Atika memvonis masyarakat tidak paham ruang lingkup tugas mereka sebagai Tim Investigasi. Inilah yang “menggelikan” itu.
Paling utama masyarakat tidak pernah tahu nama tim ini. Tim Investigasi apa. Lalu, apakah tim itu sudah pernah menjelaskan ke masyarakat tentang tugas-tugas mereka.
Sepengetahuan saya, jangankan memberikan penjelasan terhadap apa-apa tugas mereka dalam menangani insiden dugaan keracunan warga, siapa-siapa yang terlibat dalam tim tersebut, masyarakat tidak pernah tahu dan juga tidak pernah diberitahu.
Selaku masyarakat dan pekerja jurnalis, saya hanya tahu satu nama dalam tim itu: ketua tim, yaitu Atika Azmi Utammi yang konon ditunjuk Gubernur Sumut Edy Rahmayadi. Jadi, janganlah terlalu mudah menyalahkan masyarakat, sementara SK (surat keputusan) terbentuknya tim investigasi ini saja kami tidak pernah tahu.
Jadi siapa-siapa anggota dalam tim, masyarakat sama sekali buta. Sudah berapa kali tim melakukan investigasi lapangan, masyarakat enggak paham. Coba sekali-kali ibu selaku ketua tim, memberi penjelasan ke publik bahwa tim sudah melakukan ini, itu, dan hasilnya begini, begono. Itu kalau ibu mau transparan dan terbuka ke publik.
Sampai kapan tim investigasi ini bertugas, ini juga tidak jelas. Apakah “sepanjang hayat di kandung badan” . Setahu saya, tim investigasi baru menghasilkan 14 poin rekomendasi, yang satu pun dari poin itu menurut saya bisa dirumuskan di atas meja, bukan kategori sebuah hasil investigasi.
Keberadaan Tim Investigasi ini pun baru muncul setelah terjadi insiden berulang, yang menyebabkan 22 korban, lalu dususul sembilan korban dilarikan ke rumah sakit. Itu pun setelah dipertanyakan berbagai elemen masyarakat lantaran penyelesaian kompensasi yang belakangan berubah menjadi tali asih, sangat berlarut-larut.
Lantas, dalam pikiran “jelek” saya muncul, jangan-jangan sengaja dikemas namanya “Tim Investigasi” supaya terlihat tim bakal membongkar segala sesuatu yang tidak diketahui masyarakat, aparat penegak hukum, dan Kementerian EBTKE terkait sesuatu di tubuh PT SMGP. Tujuannya, tak usah saya sebutkan, kita sudah paham.
Dalam berita disebutkan, ketidakpahaman masyarakat tentang ruang lingkup tugas tim investigasi tersebut menyebabkan muncul penilaian simpang-siur dari masyarakat.
Menurut saya bukan penilaian masyarakat yang simpang-siur, justru tugas tim investigasi-lah yang simpang-siur. Apakah ibu, selaku ketua tim pernah menjelaskan hasil investigasi lapangan kepada masyarakat.
Bahkan, sejak insiden 3 Maret 2022 atau setelah tim terbentuk, Atika tidak pernah sama sekali turun ke lokasi PT SMGP dalam rangka investigasi—kecuali beberapa saat setelah kejadian melihat situasi terkini di Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Marapi (PSM), Madina.
Jelas, kalaupun Atika datang kesana tidak sebagai ketua Tim Investigasi, tetapi sebagai wakil bupati. Sehingga bukan dalam rangka investigasi karena investigasi yang sebenarnya bukan pekerjaan mudah. Dalam dunia jurnalistik, misalnya, investigasi adalah suatu pekerjaan mengungkap kebenaran yang tersembunyi.
Menurut Atika, seperti ditulis dalam berita, sesungguhnya ada dua tim investigasi yang bergerak. Yakni, Tim Investigasi Daerah dan Tim Investigasi EBTKE. Lingkup tugas masing-masing tim berbeda.
Tim Investigasi Daerah fokus sebatas investigasi administratif dan dampak sosial saja, sedangkan investigasi hal-hal teknis bersifat teknologi pengelolaan geothermal dilakukan para ahli dalam tim investigator bentukan dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Ini puncak keanehan dan makin “menggelikan” pandangan saya terhadap tim diketuai Atika. Pertama, soal lingkup tugas yang berbeda itu sejak awal tidak ada penjelasan sama sekali dari tim atau Pemkab Madina. Kedua, saya menduga penjelasan di atas hanya sebuah cara membela diri dari suara sumbang masyarakat atas kinerja Tim Investigasi.
Kalau hanya menyangkut administrasi dan dampak sosial yang ingin didapat oleh tim, aduh, terlalu berat menyebut “kelompok” mereka sebagai Tim Investigasi. Apakah tidak ada sebutan lain, contohnya:Tim Pemantau Dampak Sosial Insiden di PT SMGP.
Dengan tidak jelasnya kinerja tim investigasi, muncul berbagai praduga masyarakat, jangan-jangan mereka hanya bekerja dalam rangka bargaining dengan PT SMGP. Jika kepentingan masyarakat, terlihat dalam poin 13 rekomendasi tim, yaitu: bonus produksi untuk Pemda Madina untuk memaksimalkan pembangunan.
Bisa juga untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Dugaan itu sah-sah saja, lantaran sampai saat ini, tim belum mengungkap hasil temuan mereka di lapangan. Jangan-jangan, enggak ada sama sekali.
Bu Atika, rasanya kurang pas ibu jika meluruskan respon publik, sebab belum pernah sama sekali ibu selaku ketua tim membentuk suatu opini tentang keberadaan Tim Investigasi. Jika mau diluruskan, ibu ciptakan dulu opini atau penjelasan, jika masyarakat salah menafsirkan apa yang disampaikan, itu baru perlu diluruskan.
Opini masyarakat terhadap Tim Investigasi sudah terbentuk dengan sendiri setelah melihat kinerja tim hampa meskipun sudah terbentuk lebih enam bulan.
Saran saya, bubarkan saja Tim Investigasi, daripada beban buat ketua tim, juga beban bagi APBD?
Akhiruddin Matondang