DESA yang berada di Kecamatan Panyabungan Timur ini begitu terkenal di Mandailing Natal (Madina), Sumut. Bukan karena memiliki setumpuk prestasi postif, tidak. Huta Tinggi adalah salah satu desa di kabupaten ini yang dikenal sebagai penghasil daun ganja.
Lantas, kenapa perlu belajar dari Huta Tinggi. Tentu saja kita tidak hendak belajar budidaya ganja. Tetapi saya mau mengajak kita semua kilas balik tentang pelaksanaan PSU (pemilihan suara ulang) yang pernah dilakukan di sana beberapa waktu lalu.
PSU di Huta Tinggi menurut saya bagian catatan kelam demokrasi Madina, sehingga sangat pas mereview kembali jelang Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar PSU Pilkada Madina 2020 sesuai perintah majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibacakan pada awal pekan ini. Menurut rencana, PSU dilakukan, Rabu (21/4-2021).
Seperti diketahui poin penting amar putusan MK atas sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilkada Madina 2020 yaitu perintah PSU di tiga tempat pemungutan suara (TPS), yaitu: TPS 001 Desa Bandar Panjang Tuo, Kecamatan Muara Sipongi; serta TPS 001 dan TPS 002 Desa Kampung Baru, Kecamatan Panyabungan Utara.
Daftar pemilih tetap (DPT) di tiga TPS itu 1.207 orang. Pasca suara ketiga TPS dinolkan sesuai putusan MK, perolehan suara ketiga pasangan calon (paslon), yakni: paslon 1—Ja’far Sukhairi-Atika: 78.787 suara; paslon 2–Dahlan Hasan-Aswin: 78.552 suara, serta paslon 3–Sofwat -Zubeir: 44.949 suara.
Sebelum putusan MK dibacakan, paslon 2 berada di peringkat atas, unggul 372 suara. Namun setelah suara di tiga TPS yang di PSU-kan dinolkan, “klasmen” sementara diambil alih paslon 1 dengan selisih 264 suara.
Persaingan paslon 1 dan 2 merebut sekitar 1000 suara—estimasi kehadiran sekitar 90 prosen—dipastikan ketat, sehingga jangan sampai terulang upaya-upaya “kotor” yang dilakukan pihak-pihak tertentu seperti yang pernah terjadi di Huta Tinggi.
Kalau saya lihat PSU Pilkada Madina 2020 yang dilaksanakan di Huta Tinggi, Minggu (13/12-2020), penuh intrik. Bisa dikatakan mencoreng demokrasi. Jauh dari asas pemilu, langsung, bebas dan rahasia (Luber).
Sekadar mengingatkan saja, sebenarnya dalam dua pesta demokrasi terakhir, pemilu legislatif (pileg) dan Pilkada Madina 2020, di Huta Tinggi selalu digelar PSU.
Dari kasus Huta Tinggi dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa KPU, Bawaslu, Panwaslu dan pihak-pihak terkait tidak mau belajar dari kasus pertama, yaitu PSU pileg. Karena itu, para penyelenggara perlu diingatkan.
Kalau pakai akal sehat, semestinya mereka malu karena PSU di tempat serupa terjadi berulang. Kecuali ada unsur pembiaran untuk mencapai tujuan tertentu, tentu saja lain cerita.
Terlepas proses pencoblosan PSU Pilkada di Huta Tinggi ada pembiaran atau tidak, tidak lagi masalah bagi kita. Persoalannya sekarang, saat nanti dilaksanakan PSU di tiga TPS apakah suasana seperti di Huta Tinggi bakal terjadi lagi.
Sehari sebelum hari H diadakan PSU Pilkada Madina 2020 di Huta Tinggi atau Sabtu malam (12/12-2020), saya dan beberapa kawan-kawan hendak berangkat kesana menyaksikan pencoblosan, namun urung. Informasi yang kami dapat suasana disana seolah dikemas menakutkan.
Hanya warga Huta Tinggi yang bisa masuk kampung itu. Sejumlah orang dari kalangan naposo bulung menjaga ketat di jalan raya perbatasan desa.
Polisi pun tidak berkutik. Anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Madina ikut seolah mengkondisikan agar tidak ada pihak luar yang masuk jelang PSU. Bahkan saksi paslon tertentu pun sulit masuk Huta Tinggi.
Seorang rekan sempat menghubungi aparat yang bertugas di sana, dan kami disarankan tidak masuk Huta Tinggi karena suasana kurang kondusif. Apakah ini bagian skenario agar salah satu paslon bisa leluasa mencapai tujuannya, silakan anda simpulkan sendiri.
Paling tidak, sekali lagi saya katakan, demokrasi di Madina sudah ruk-rek, amburadul dan ini terkesan ada pembiaran dari Bawaslu selaku pihak yang berkompeten mengawasi jalannya pesta demokrasi ini.
Coba kita perhatikan angka perolehan suara paslon di TPS 001 Huta Tinggi pada pencoblosan 9 Desember 2020 sesuai data Si Rekap KPU: paslon 1 = 1 suara, paslon 2= 225 suara, dan paslon 3=3 suara. Total suara sah: 229.
Ada dua pertanyaan. Pertama, kenapa angka perolehan paslon 1 dan 3 sama dengan nomor urut paslon tersebut. Apakah ini sengaja seolah bermaksud ngeledek atau kebetulan.
Kedua, angka kehadiran pemilih di TPS 001 Huta Tinggi mencapai 100 prosen. Jumlah DPT TPS ini: 229 (laki-laki:115 dan perempuan: 114).
Padahal ada sejumlah nama di dalam DPT-TPS 001 Huta Tinggi sedang tidak di kampung, misalnya, di ladang, kerja di luar desa, dan hotel prodeo. Bahkan ada dua nama dalam DPT sudah meninggal, tapi tetap “ikut” mencoblos.
Dalam rekaman percakapan dengan seorang tokoh pemuda Madina, kepala Desa Huta Tinggi berinisial AH mengatakan meskipun sudah meninggal tetap bisa mencoblos asal namanya ada dalam DPT. Caranya, diwakilkan kepada pihak keluarga.
Hal itu, kata AH, sesuai hasil bimbingan teknis (bimtek) yang diadakan PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) Panyabungan Timur dengan para KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) se-kecamatan tersebut.
Lalu coba kita lihat perolehan suara setelah dilakukan PSU, Minggu (13/12-2020), yaitu: paslon 1: 10 suara, paslon 2: 202 suara, dan paslon 3: 1 suara. Dengan angka itu, tingkat kehadiran pemilih sekitar 88 prosen.
Prosentasi kehadiran itu menurun jika dibandingkan pencoblosan 9 Desember 2020 yang mencapai 100 prosen. Ini antara lain disebabkan “jenazah”, warga yang sedang di LP (Lembaga Pemasyarakatan (LP), dan mereka yang sedang tidak di kampung itu tidak ikut lagi mencoblos. Itu saja bedanya.
Adakah mobilisasi pemilih, kita tidak tahu karena memang tidak bisa memantau apa yang terjadi di Huta Tinggi sejak tiga hari jelang hari H PSU.
Inilah yang saya sebutkan agar paslon 1 belajar dengan peristiwa PSU Huta Tinggi. Meskipun sama-sama “petahana”, kekuasaan mereka di pemkab jauh beda.
Terakhir saya garis bawahi, dalam amar putusannya, majelis hakim MK memerintahkan KPU-RI pusat, Bawaslu-RI, dan Kepolisian untuk melakukan suvervisi dan koordinasi dengan jajaran di tingkat provinsi dan kabupaten dalam rangka melaksanakan PSU di tiga TPS.
Suvervisi dan koordinasikanlah dengan penyelenggara di tingkat bawah supaya mereka bekerja sebagai penyelenggara yang tak berpihak ke salah satu paslon. Cukup sudah masyarakat menonton tindak-tanduk mereka selama ini yang patut diduga ada keberpihakan.
Semoga kita semua belajar dari apa yang sudah terjadi pada PSU Huta Tinggi dalam rangka tegaknya demokrasi dan terwujudnya asas pemilu, Luber. Tidak ada intimidasi atau keterlibatan aparat keamanan dan pemerintah dalam memengaruhi pilihan masyarakat.
Ingat, pertarungan paslon 1 dan paslon 2 bukan sekadar mencari siapa yang menang, siapa yang kalah. Tapi ini sudah menyakut harga diri masing-masing.
Jika aparat keamanan, aparat desa, kecamatan, dan pemkab ada indikasi terlibat memenangkan salah satu paslon, tak menutup kemungkinan menyulut persoalan baru. Percayalah bro… (*)
(Akhiruddin Matondang)