PENASEHAT hukum Pemkab Madina H. Ridwan Rangkuti dan M. Nuh Nasution memberi klarifikasi terhadap surat H. Dahlan Hasan Nasution mengenai permohonan mundur sebagai bupati.
Catatan klarifikasi yang diposting melalui media sosial berjudul, “Surat Cinta Sang Bupati Kepada Presiden” itu agak janggal dan terkesan dipaksakan tanpa mengindahkan makna tersirat dari untaian kata demi kata, sehingga terjalin rangkaian kalimat yang terkesan tak logis.
Arti kalimat yang dibuat terkadang menimbulkan kelucuan yang tak mencerminkan sudut pandang hukum.
Ini tanggapan saya terhadap poin-poin yang disampaikan sang penasehat hukum. (poin-poin tulisan huruf tebal merupakan kalimat klarifikasi kuasa hukum-red)
- Bahwa Surat yang beredar tersebut benar ditanda tangani bpk Drs.Dahlan Hasan Nasution sebagai Bupati Madina.
Kalimat ini mengandung makna pihak kuasa hukum tidak tahu menahu soal munculnya “surat cinta” karena Ridwan Rangkuti sempat memberi komentar di media sosial bahwa “surat cinta” tersebut hoaks. Mestinya seorang kuasa hukum baru memberi tanggapan setelah berkoordinasi dengan pihak klaien, sehingga pernyataan yang disampaikan tidak menyimpang.
- Bahwa Surat tersebut BUKAN SURAT PERNYATAAN MENGUNDURKAN DIRI SEBAGAI BUPATI MADINA, AKAN TETAPI SURAT PERMOHONAN MENGUNDURKAN DIRI.
Poin ini hanya sekadar memperpanjang narasi klarifikasi kuasa hukum. Masyarakat juga tahu bupati tidak mundur, tetapi mengajukan surat permohonan berhenti dari jabatan bupati yang disampaikan kepada Presiden RI.
Di penghujung aline ketiga ditulis: “…dengan segala kerendahan hati izinkan kami menyampaikan permohonan untuk berhenti sebagai Bupati Mandailing Natal.” Sangat jelas dan sejalan dengan isi surat nomor: 019.6/1214/TUPIM/2019 tanggal 18 April 2019, yaitu tentang permohonan berhenti sebagai bupati Madina.
Memang betul pada poin 2, Dahlan Hasan tidak menyatakan mengundurkan diri, tetapi permohonan berhenti sebagai bupati Madina.
- Bahwa surat tersebut adalah surat biasa sebagai bentuk kekecewaan Dahlan Hasan Nasution kepada sebagian besar warga Madina yang tidak memilih Joko Widodo & Makruf Amin dalam Pilpres tgl.17 April 2019 yang lalu, padahal Presiden Joko Widodo sudah memperhatikan sungguh sungguh pembangunan Madina terutama pembangunan RSU, penegerian STAIM menjadi STAIN, pelabuhan Laut Balimbungan, Bandara, dll.
Surat tersebut bukanlah “surat biasa”. Menurut GeorgeSimonOhm Jenius, surat biasa adalah surat-surat yang isinya tidak mengandung rahasia walaupun terbaca oleh orang lain. Contoh surat biasa seperti surat undangan pernikahan atau khitanan, surat pertemuan para siswa untuk rekreasi.
Sumber lain menyebutkan, surat biasa adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, pertanyaan, permintaan jawaban, permohonan, dan sebagainya yang dikirimkan dari suatu instansi kepada instansi lain di luar instansi pengirim. Surat biasa tidak boleh digunakan dalam lingkup instansi karena surat biasa bersifat keluar instansi.
Surat permohonan pengunduran diri bupati adalah mengatasnaman lembaga karena pakai lambang garuda/kop surat pemkab, cap pemkab, dan atas nama bupati. Pada bagian kiri atas jelas tertulis sifat: “rahasia”.
Kalimat selanjutnya disebutkan Dahlan Hasan kecewa karena warga tidak memilih Presiden Joko Widodo dan Ma’ruf Amin pada pilpres 17 April lalu. Pihak kuasa hukum terkesan tidak memahami posisi Joko Widodo, apakah sebagai capres atau sebagai presiden. Dalam kaitan pilpres, Joko Widodo adalah seorang capres. Pertanyaannya, atas dasar apa Dahlan Hasan kecewa melihat hasil suara perolehan pilpres. Apakah sebagai simpatisan, tim sukses atau memang turut memberi dukungan dalam berbagai hal sebagai upaya pemenangan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Kalimat ini mengandung arti bupati tidak paham azas pemilu (jurdil, bebas dan rahasia). Secara terang benderang “surat cinta” memperlihatkan bupati terlibat langsung menyuruh warga untuk memilih atau tidak memilih paslon tertentu dan ini ada aturannya sehingga dapat memunculkan nuansa hukum.
Bolehkan kepala daerah ikut kampanye, boleh asal sesuai aturan. Antara lain harus cuti. Keikutsertaan kepala daerah sebagai tim sukses terlebih dahulu harus mengantongi izin, gubernur melapor ke kemendagri, sementara bupati dan wali kota melaporkan ke gubernur.
Karena bupati tidak mengambil cuti, maka hal ini berpotensi penyalahgunaan kekuasaan sehingga menyalahi aturan.
Selanjutnya, seolah presiden membantu pembangunan Madina hanya karena berharap supaya dipilih pada saat pilpres. Ingat, masyarakat Madina membayar pajak sehingga punya hak yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya dimana pun berada. Jika ada pemahaman hanya jika Joko Widodo presiden pembangunan Madina bisa berjalan, itu sesuatu yang keliru dan tidak paham sistem pemeritahan bernegara. Ini sekaligus mengesampingkan peran legislatif dalam proses kebijakan pembangunan.
Artinya proses penentuan alokasi anggaran pembangunan tidak mutlak di tangan presiden, tapi keputusan akhir ada pada legislatif sebagai perpanjangan tangan rakyat.
Membangun bangsa sudah menjadi tanggung jawab seorang presiden, siapa pun presidennya.
- Bahwa surat tersebut tidak ditunjukan kepada DPRD Madina.
Tanpa sadar kuasa hukum ingin menyampaikan bahwa jajaran pemkab tidak paham administrasi pemerintahan. Entah siapa yang membuat surat, tapi mestinya ia malu. Ingin mengajukan permohonan berhenti, tapi prosedur surat-menyuratnya tidak paham. Apalagi ada tembusan ke Menko Perekonomian RI. Pakar hukum tata negara USU Dr. Mirza Nasution, SH., M.Hum., sendiri mengaku tidak paham mengenai ditembuskannya surat tersebut ke menko.
Dengan demikian, secara tidak langsung pemkab sedang mempertontonkan dagelan yang sebenarnya mereka harus malu. Apalagi foto “surat cinta” tersebut sudah viral di dunia maya dan menjadi berita hampir di semua media massa yang ada di tanah air.
Poin 4 seolah menyatakan yang buat surat sedang “main-main” dalam adminstrasi pemerintahan.
- Bahwa secara administrasi Surat tersebut tidak memenuhi syarat sebagai dasar untuk diproses lebih lanjut, karena Surat tersebut memakai kop surat dan stempel Bupati Madina, bukan pernyataan pribadi.
MasyaAllah kok analisa seorang praktisi hukum begini. Seolah bangga menyatakan kekeliruannya. Bahkan sudah tahu bahwa surat tersebut tidak memenuhi syarat sehingga tak akan diproses lebih lanjut. Kalimat klarifikasi poin 5 memberi kesan mereka sedang berguyon dengan seorang presiden, yang merupakan pimpinan tertinggi di negeri ini.
Lantas, apa sebenarnya maksud surat permohonan berhenti sebagai bupati itu. Main-main, atau ada maksud terselubung untuk tujuan tertentu, tentu hanya mereka yang tahu. Padahal dampak surat itu sudah menambah kegaduhan di saat bangsa ini sedang konsentrasi dalam penghitungan hasil perolehan suara pilpres dan pileg.
Sangat miris, ada pihak-pihak yang memberi kesan bangga atas kekeliruan administrasi yang dilakukan dan sedang ditonton masyarakat Indonesia.
- Bahwa secara hukum syarat Kepala Daerah dapat membuat surat pernyataan mengundurkan diri apabila Kepala Daerah tidak dapat melaksanakan tupoksinya karena sakit, atau berhalangan tetap.
Pasal 78 (1) Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan kepala daerah dan wakil kepala daerah berhenti karena a. meninggal dunia, b. permintaan sendiri; atau c . diberhentikan.
Dalam hal surat permohonan mundur Dahlan Hasan Nasution memungkinkan memenuhi unsur b, yaitu permintaan sendiri.
- Bahwa bpk Drs.Dahlan Hasan Nasution tidak akan menyatakan mengundurkan diri sebagai Bupati hingga habis masa jabatannya.
Ini juga masuk kategori narasi lelucon. Yang meminta Dahlan Hasan mundur dari jabatannya, siapa? Dahlan Hasan-lah yang atas kesadaran sendiri–mungkin tanpa unsur paksaan– dengan alasan yang dipahami sendiri mengajukan permohonan mundur sebagai bupati Madina.
Saya bukanlah berlatar belakang hukum, tetapi menganalisa berdasarkan logika kalimat yang disampaikan dalam surat klarifikasi pihak penasehat hukum Pemkab Madina tersebut.Pada akhirnya, biar masyarakat yang menilai.
Mengutif komentar seorang tokoh organisasi kepemudaan Madina di media sosial, “surat cinta” tersebut ibarat senjata makan tuan. Bak pepatah: menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.
(Akhiruddin Matondang)