BERBAGI
Syaripuddin (foto: tangkapan layar)

SUNGGUH pantas pihak Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) serta Dinas Pendidikan Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumut disebut telah melakukan kesewenang-wenangan dalam memberikan nilai SKTT (Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan) terhadap peserta seleksi penerimaan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) di daerah ini.

Setidaknya demikian inti pernyataan Syaripuddin, S. Pd. I M.M., guru honorer di SDN 357 Natal, Madina saat mengutarakan ‘curhat’ (curahatan hati) secara live melalui akun facebook Darah Nata miliknya, pada Senin (25/12/2023).

Dia menyebutkan, sungguh tidak masuk akal Abdul Hamid dan Dollar Hafriyanto bisa melakukan penilaian SKTT secara obyektif sebagai penentu kelulusan masuk PPPK Madina. “Mustahil. Sekali lagi, mustahil,” katanya.

Syaripuddin, merupakan salah satu korban dugaan kesewenang-wenangan Abdul Hamid dan Dollar Hafriyanto dalam memberikan nilai SKTT terhadap peserta seleksi masuk PPPK. Keduanya masing-masing menjabat sebagai kepala BKPSDM Madina serta kepala Dinas Pendidikan Madina.

“Kami sangat kecewa. Kami sangat teraniaya. Sudah 18 tahun saya mengajar sebagai honorer, tetapi diperlakukan seperti ini. Murid saya ada yang diterima PPPK. Apa kelebihan dia. Saya memang bukan keluarga pejabat,” sebutnya sembari berurai air mata.

Menurutnya, para guru peserta tes pasti ikhlas tidak diterima masuk PPPK tahun 2023 ini jika proses rekruitmen dilakukan secara obyektif.

Sangat disayangkan, kata dia, penilaian akhir yang dilakukan pihak BKPSDM dan Dinas Pendidikan dilakukan tidak obyektif. “Sangat aneh dan tidak masuk akal. Sesuka hati mereka dan tembak raba menilai semua peserta. Nilai saya tadinya tinggi, di atas 500, turun menjadi 400-an. Ini kesewenang-wenangan. Inda dong deking, inda dong hepeng, inda dong sude (Tak ada deking, tak ada duit, tak ada semua….)”

BERITA TERKAIT  Dugaan Korupsi Bansos Covid-19 Saat Jelang Pilkada Madina "Menggelinding" ke KPK

Lebih lanjut guru yang akrab disapa Darah Nata ini menyebutkan, “Apakah kalian tahu kinerja guru di sekolah tempat mereka mengajar. Paling tahu soal ini adalah kepala sekolah,” katanya dengan raut sedih.

Lantaran kesewenang-wenangan inilah, lanjutnya, di antara mereka yang lulus ada yang baru mengajar sebagai honorer satu tahun, sementara yang belasan tahun mengabdi menjadi guru tidak lulus.

“Enggak tahu lagi apa yang mau diperbuat,” sebutnya, lalu menyeka air mata yang membasahi sekitar matanya.

Menurut Syaripuddin, penilaian SKTT yang dilakukan kedua instansi tersebut sangat membingungkan. Dari 10 komponen, ia cuma mendapat nilai 14.8. “Luar biasa. Saya amat bodoh sekali sebab hanya dapat sekitar nilai 1 dalam setiap komponen penilaian. Saya rasa anak SD pun yang menilai, insyaallah nilai yang saya dapat jauh lebih tinggi.”

Adapun 10 komponen penilaian dengan bobot nilai paling rendah satu dan paling tinggi sembilan, yakni: kematangan moral dan spritual; kematangan emosional; keteladanan; Komunikasi, kreaktifan dalam organisasi profesi; kedisiplinan, tanggung jawab; perilaku inklusif; kepedulian terhadap perundangan; serta kerja sama dan kolabarasi.

Syaripuddin menduga proses penilaian SKTT penuh rekayasa. Ia mencontohkan, salah seorang rekannya yang lulus PPPK sampai mendapat nilai 133. Sedangkan nilai tes CAT yang diadakan BKN (Badan Kepegawaian Negara) jauh lebih rendah dari  perolehan didapatnya.

BERITA TERKAIT  Dukung 1 Juta Patok, Asisten III Setdakab Madina Hadiri Pencanangan Gemapatas

“Apa sih kelebihan dia. Orang yang baru dua tahun tiga tahun honorer, bisa dapat nilai nilai 133. Seperti apa bagusnya anak ini. Luar biasa. Entah kami yang bodoh atau bapak yang menilai bodoh,” ujarnya lagi.

Kalau pimpinan di daerah ini merasa lebih pintar, tolong hargai para guru. “Intinya, tidak ada penghargaan terhadap guru yang sudah mengabdi lama,” katanya.

Jadi, kata dia, siapa ada sanak saudara. Siapa ada famili di BKPSDM atau Dinas Pendidikan, mereka yang ditinggikan nilai.”Tolong para pimpinan diperhatikan guru-guru lama. Kalaulah kami orang bodoh, kami tidak akan menjadi seorang guru.”

Dia melanjutkan, “Kami tidak terlalu-lalu muluk-muluk, hanya minta keadilan. Bukan kami tidak mau membayar. Terus terang. Namun otak ini berpikir, selama hampir 18 tahun mengajar, badan capek bersama anak-anak memajukan sekolah dengan para guru lainnya. Toh, mau masuk, tidak ada penghargaan. Kami dianggap sepele. Berapa orang mereka di BKPSDM dan Dinas Pendidikan untuk menilai peserta tes yang begitu banyak. Mustahil, ini tebak-tebakan.”

Jikalau kepada anak pejabat, atau saudara pejabat terjadi seperti kami alami ini. Bagaimana perasaannya. Kami tidak ada famili pejabat yang bisa diandalkan. Semoga doa-doa yang teraniaya terkabulkan,” ujarnya. (*)

Editor: Akhir Matondang

BERBAGI