OLEH: AKHIRUDDIN MATONDANG
POLEMIK surat permohonan berhenti H. Dahlan Hasan Nasution (DHN) sebagai bupati Mandailing Natal, Sumatera Utara masih terus bergulir. Sempat viral dan berhari-hari jadi konsumsi media lokal serta nasional.
Isi berita umumnya fokus pada materi surat No: 019.6/1214/TUMPIM/2019 tanggal 18 April 2019 yang dianggap seperti lelucon karena sangat tidak lazim dalam tata administrasi pemerintahan.
Misalnya, kenapa surat permohonan berhenti ditujukan kepada presiden, kenapa ada tembusan ke Menko Perekonomian RI, dan parahnya secara tidak langsung DHN secara terbuka mengakui keterlibatannya dalam pemenangan Jokowi-Ma’ruf pada Pilpres 17 April lalu.
DHN juga secara tegas menyalahkan masyarakat Madina yang tidak memilih capres-cawapres 01. Selanjutnya, ia seolah mengkultuskan pembangunan Madina hanya akan berlanjut jika presidennya tetap Jokowi.
Berita permohonan berhenti DHN ditanggapi beragam dari berbagai pihak. Gubernur Sumut Edy Rahmayadi tegas mengatakan jika memang DHN betul mau berhenti harus melalui prosedur. “Begitu caranya, kalau model-model hanya berita saja, itu koyok-koyok (cerita-cerita),” katanya.
Ada apa sebenarnya yang membuat DHN panik menanggapi perolehan suara Jokowi-Ma’ruf di Madina yang menurut data sementara hanya sekitar 18 prosen. Lalu, entah disengaja atau tidak, sampai ia membuat surat “abal-abal” kepada presiden.
Berikut catatan Beritahuta.com mengenai dugaan ketidaknetralan DHN pada jelang pilpres. Pertama, ia pernah membawa tokoh-tokoh dan ulama (ulama versi bupati) menghadap Jokowi di Jakarta. Pertemuan berlangsung di ruang VIP Room Bandara Halim Perdana Kusuma, 18 Desember 2018, saat presiden hendak bertolak ke Jawa Timur.
Bupati, tokoh, ulama dan menteri yang hendak ikut kunjungan kerja presiden ke Jatim sempat foto bareng bersama presiden sembari mengacungkan satu jari sebagai simbol capres-cawapres 01.
Foto ini sempat dilaporkan pihak-pihak tertentu ke Bawaslu pusat, karena dinilai memperlihatkan ketidaknetralan bupati dan menteri. Namun Bawaslu tidak memproses laporan tersebut dengan berbagai alasan.
Kedua, pada HUT ke-20 Madina 2019, Februari lalu, bupati tampak mengemas rangkaian kegiatan beraroma Jokowi. Baliho dan banner yang dipasang di berbagai tempat menampilkan foto Jokowi-Jusuf Kalla, Dahlan Hasan- Jakhfar Suhairi (bupati-wakil bupati), dan Darmin Nasution (Menko Perekonomian RI).
Hal seperti ini tak pernah dilakukan pada hajat serupa tahun-tahun sebelumnya. Apalagi banner dan baliho tidak menampilkan gambar gubernur-wakil gubernur Sumut, sangat terasa ada muatan tertentu yang hendak disampaikan kepada masyarakat.
Ketiga, masih dalam rangkaian HUT ke-20 Madina, pada Minggu (7/3), Darmin Nasution diundang membuka pameran. Ini sangat janggal, sebab jadwal pembukaan pameran mestinya, Senin (4/3), terpaksa berubah karena ada informasi menko perekonomin bisa datang memenuhi undangan pemkab.
Lalu, dikemaslah kehadiran Darmin Nasution dalam rangka pembukaan pameran. Sementara jadwal pembukaan yang sebelumnya, 4 Maret 2019, mendadak diganti jadi acara peninjauan kesiapan pelaksanaan pameran oleh wakil bupati. Sebegitu besarkah acara ini sehingga mesti dibuka sekelas menko.
Darmin Nasution pun memanfaatkan kekesempatan itu “jualan”. Ia berkoar-koar mengenai keberhasilan pembangunan Indonesia, termasuk di Madina. Ia juga menjanjikan perbaikan harga karet, meskipun diakui tidak bisa sporadis tapi pelan-pelan.
Sayangnya, massa yang dimobilisasi seolah tak menggubris “dagangan” sang menteri. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing, bahkan banyak di antaranya meninggalkan tempat acara apalagi saat itu cuaca sangat terik.
Keempat, berselang dua hari kemudian, giliran Ma’ruf Amin datang di lokasi pameran berlabel “Zikir dan Tabliq Akbar”. Di sini sangat kentara keterlibatan DHN dalam upaya pemenangan 01. Ia secara meyakinkan mengerahkan semua ASN (aparatur sipil negara) Pemkab Madina, termasuk pegawai kecamatan, puskesmas, UPT (unit pelaksana teknis),dan sejumlah aparatur desa-desa untuk menghadiri acara itu. Pengerahan ini dilakukan dengan surat resmi, bahkan para ASN dan tenaga suka rela diwajibkan mengisi absensi di lokasi acara.
Akibat pengerahan massal tersebut, aktivitas kantor pemkab terhenti hingga acara selesai. Sebagian besar kantor tutup, hanya satu dua kantor pintunya tampak terbuka. Usai acara mereka pulang ke rumah masing-masing, cuma beberapa pegawai yang masih kembali ke kantor.
Meskipun bertajuk “Zikir dan Tablig Akbar”, tapi pada kenyatannya kegiatan itu tak beda dengan kampanye. Tak ada zikir, juga tak ada dakwah.
Kelima, pasca rombongan DHN bertemu presiden di Jakarta, 18 Desember 2018, pihak bupati beberapa kali menyampaikan dihadapan masyarakat bahwa Jokowi hendak berkunjung ke Madina. Nyatanya, tak satu kali pun terbukti. Pernyataan itu patut diduga sebagai kamuflase supaya masyarakat tahu seolah presiden sangat perhatian terhadap Madina.
Keenam, dari pihak DHN menginformasikan melalui media massa Menteri Perdagangan hendak berkunjung ke Pasar Baru Panyabungan, Rabu (27/3), untuk melihat kondisi pasar yang terbakar pada hari kedua Idul Fitri tahun lalu. Ternyata yang datang pejabat setingkat direktur di kementerian itu. Jauh-jauh datang dari Jakarta, sang direktur hanya mengatakan, pembangunan Pasar Baru Panyabungan masih menunggu konsep dari presiden.
Ketujuh, sebelumnya Bobby Nasution, menantu presiden, juga sudah berkunjung ke pasar itu tanpa agenda yang jelas. Ini juga diduga bagian dari menarik simpatik masyarakat atau sekadar pencitraan karena kunjungan itu difasilitasi pihak pemkab.
Kedelapan, Bobby juga belakangan acap berkunjung ke Madina dengan berbagai label yang difasilitasi DHN. Termasuk ketika Bobby hadir pada pengukuhan pengurus Amanah (Alumni Musthafawiyah Nahdiyin), relawan Jokowi-Ma’ruf.
Kesembilan, DHN menyebutkan Jokowi akan datang ke lokasi pertapakan pembangunan Bandara Bukit Malintang, ternyata yang datang bukan presiden, tapi Menteri Perhubungan.
Kesepuluh, dukungan raja-raja Mandailing terhadap 01 yang diikrarkan di Kelurahan Hutasiantar, Panyabungan tidak lepas dari campur tangan DHN.
Itulah sebagian dugaan ketidaknetralan DHN. Bahkan, menjelang hari H pencoblosan, sangat santer terdengar para ASN didata, termasuk lokasi TPS. Tentu saja mereka sempat dihantui rasa takut jelang hari H pencoblosan.
Bahkan, ketika UAS dan Ustad Sobri Lubis melakukan kegiatan Isra Mi’raj di Musthafawiyah Purba Baru dan di Lapangan Aek Godang, pegawai dan guru (tingkat SD dan SLTP) tak berani datang menyaksikan acara tersebut karena khawatir dimatai-matai pihak pemkab.
Kepada sejumlah orang yang menemuinya dan ketika mengadakan kegiatan DHN acap bersumpah jika suara 01 tidak mencapai 70 prosen di Madina, ia siap mundur dari jabatannya.
Rasa percaya DHN suara Jokowi-Ma’ruf bisa mencapai 70 prosen sangat tinggi, apalagi ia merasa sudah dapat asa dari sejumlah kepala desa melalui para camat. Konon, setiap kepala desa juga ditarget agar dapat suara 01 dengan jumlah tertentu.
Bak ada perintah, sejumlah kades memasang foto Jokowi di banner rincian penggunaan anggaran dana desa (ADD) yang dipajang di sekitar desa masing-masing. Tidak jelas apakah hal ini dilakukan kades karena ada perintah, atau inisiatif mereka sendiri. Yang jelas, pemandangan tersebut tidak biasa dan baru terjadi jelang pilpres.
Sangat wajar DHN panik beberapa jam usai penghitungan suara pilpres. Apalagi ada kabar yang begitu menyengat dari TPS 04 dan 05 Komplek Perumahan Cemara, Desa Sipaga-paga, Kecamatan Panyabungan, Madina.
Di perumahan yang 90 persen warganya berstatus pegawai pemkab, Jokowi kalah telak. Di TPS 04 Prabowo-Sandi: 123 suara dan Jokowi-Ma’ruf: 30 suara. Sedangkan di TPS 05, pasangan 02: 132 suara, serta 01: 19 suara.
Di TPS 01 Desa Parbangunan, Panyabungan, tempat DHN bersama istri mencoblos juga unggul Prabowo-Sandi: 218 suara, Jokowi-Ma’ruf: 30 suara.
Di sini juga ada dua TPS. Satu lagi TPS 03, yaitu Prabowo-Sandi: 174 suara, dan Jokowi-Ma’ruf: 17 suara.
Bahkan di kampung asal ayah Bobby: Desa Gunung Baringin, Kecamatan Panyabungan Utara juga tidak mampu dimenangkan Jokowi-Ma’ruf. Dari 4 TPS di sana, Prabowo-Sandi: 660 suara, dan Jokowi -Ma’ruf: 140 suara.
Itulah beberapa dugaan ketidaknetralan yang muncul dipermukaan. Bahkan, beberapa hari sebelum pencoblosan, pihak pemkab masih sempat memajang dua baliho besar di pusat Kota Panyabungan bergambar Jokowi. Baliho itu dalam rangka kegiatan pramuka tingkat kabupaten.
Ini juga tidak lazim, dan terasa janggal meskipun digambar baliho tersebut Jokowi sebagai kakak mabinas. Lagi-lagi, tak elok dipandang mata di tahun politik ini.
Semua upaya tak berbuah hasil. Padahal dalam berbagai kesempatan DHN selalu mengumbar keberhasilan pembangunan Madina di era Jokowi, seperti pembangunan rumah sakit, lanjutan pembangunan jalan lintas pantai barat, rencana pembangunan bandara Bukit Malintang, dan rencana pembangunan Pasar Baru Panyabungan.
Ini sebagai bukti masyarakat sudah pintar. Mereka tahu mana yang pantas dipilih untuk memimpin bangsa ini lima tahun mendatang.
Sekarang posisi DHN sebagai bupati seperti terjepit. Kalau jujur, Edy Rahmayadi sudah kurang respek terhadap DHN. Dipandang sebelah mata, gara-gara bupati juga secara terang-terangan mendukung Djarot-Sihar pada pilgub lalu.
Pada saat itu, upaya DHN memenangkan Djarot-Sihar juga tidak mempan. Bahkan, suara Edy-Ijeck di Madina mencapai 90 prosen.
Sekarang perhitungan suara pilpres masih dalam proses dan menunggu penetapan KPU, 22 Mei 2019. Kalau saja Prabowo-Sandi menang, DHN akan dipandang sebelah mata juga oleh presiden baru sebab persoalan ketidaknetaralan sudah secara terbuka diungkapkan DHN sendiri pada surat permohonannya berhenti.
Sebaliknya, jika Jokowi-Ma’ruf menang, apakah kebaikan “tulang si Bobby” masih sama seperti sebelum pilpres. Kemungkinan besar tidak, sebab suara 70 persen seperti dijanjikan tidak terbukti. Rasa percaya mereka terhadap ucapan DHN mungkin juga sudah agak memudar, karena janji mengenai perolehan suara untuk 01 jauh dari harapan.
Kasus DHN ini hendaknya jadi pengalaman berharga bagi semua kepala daerah. Setiap momentum kegiatan pesta demokrasi, sebaiknya kepala daerah taat aturan, yaitu netal. Jika mau jadi tim sukses, ikutilah aturan yang ada.
Kalau ASN saja tidak solid mengikuti arahan DHN, lalu dimana lagi wibawanya sebagai pemimpin. Dari dua hajat pesta demokrasi, pilgub dan pileg, terlihat arah politik DHN dan masyarakat selalu tidak seirama.
Saya ingat betul kata seorang ASN Madina sekitar sepekan sebelum pemilu.”Anggo i ginjang (pemda) 01 do au, tai anggo i luar kawasan pemda ba, urusanku do mai,” katanya.***
(jurnalis, pemred/penanggung jawab beritahuta.com)