BERBAGI
PELAYANAN--Dengan meningkatkan pelayanan terhadap penumpang diharapkan ALS kembali mendekati masa kejayaannya seiring tingginya harga tiket pesawat pada dua bulan terakhir. (foto: ist)

“TAK tahu sampai kapan saya bisa bertahan di sini. Jika habis Hari Raya kondisinya belum membaik, mungkin saya mau berhenti saja,” kata Uda Am, sopir ALS 169, pada bulan puasa lalu.

Ungkapan Uda Am itu menjadi potret begitu berat perjuangan para awak bis ALS (Antar Lintas Sumatera) dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah sejumlah perusahaan penerbangan menurunkan harga tiket.

Bagaimana masyarakat tidak beralih dari moda angkutan darat ke pesawat jika harga tiket Padang-Jakarta cuma Rp460 ribu. Kalau tiket Bandara Internasional Minangkabau (BIM) Padang-Cengkareng, Jakarta Rp460 ribu, berarti dari Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumut ke Jakarta hanya: Rp460 ribu + ongkos travel Panyabungan-Padang Rp130 ribu = Rp590 ribu.

Sementara jika naik ALS, ongkos bis Rp350 ribu, ditambah biaya makan sekitar 7-8 kali. Setiap makan dengan menu sederhana paling murah Rp25 ribu. Jadi bisa dihitung berapa biaya yang dibutuhkan selama dalam perjalanan. Yang jelas, waktu tempuh menggunakan pesawat jauh lebih cepat.

Kekhawatiran Uda Am baru terjawab jelang akhir tahun 2018. Sejak dua bulan ini, pasca tarif tiket pesawat melonjak tajam dan sebagian maskapai menerapkan kebijakan bagasi berbayar, antusias masyarakat menggunakan moda angkutan darat, khususnya ALS, mulai meningkat.

Bisa dibayangkan, sebelumnya acap kali ALS dari loket Jakarta, baik Tanggerang atau Pulogadung tidak jadi berangkat disebabkan kekurangan penumpang. Hal serupa terjadi di pool Medan. Bahkan, sudah biasa saat bis berangkat dari pool, penumpangnya hanya beberapa orang.

ALS trip Jawa (Surabaya, Jember, dan Semarang, Purwokerto, Bandung) juga mengalami krisis penumpang dan hanya mengandalkan kiriman paket untuk memperoleh uang jalan.

Hal serupa dialami trip Cikampek, Bekasi dan Bogor. Semua mengalami beban yang sama. Alhasil, sesama awak bis bersaing mendapatkan penumpang di jalan. “Kami sesama sopir ALS hanya berteman di loket atau rumah makan saat istirahat, kalau di jalan kami bersaing,” celoteh seorang sopir.

Kondisinya ini tidak hanya dirasakan ALS. Hampir semua perusahaan bis di tanah air mengalami hal serupa. Bis Ramayana dari Jawa tujuan Sumatera (Lampung, Palembang, Jambi atau Pekanbaru), juga sering tak berangkat karena tidak ada penumpang. Padahal mestinya, sehari minimal dua unit bis berangkat.

Bis Family Raya, NPM, Puspa Jaya, dan lainnya mengalami nasib serupa. Karena armada yang berangkat berkurang, otomatis waktu tunggu trip di pool atau loket menjadi lama. Sehingga jadwal berangkat dalam sebulan terkadang cuma dua atau tiga trip, padahal idealnya minimal empat trip.

Kenyataan itu berdampak pada pemasukan pemilik armada, pendapatan awak bis, dan juga biaya makan, minum, dan rokok para awak kendaraan selama menunggu trip di pool.

Dengan minimnya penumpang dari loket, kru ALS hanya berharap dari ongkos paket atau mengharap penumpang di jalan. Itu pun kalau ada.

BERITA TERKAIT  Sesuai Penyertaan Modal, CSR Bank Sumut untuk Madina Rp400 Juta per Tahun

Tak ayal, beberapa kali ALS yang berangkat dari Jakarta, ketika sudah sampai di Merak, urung melanjutkan perjalanan menuju Sumatera karena sopirnya tidak yakin bisa mendapat tambahan uang jalan, meliputi biaya penyeberangan, solar, dan lainnya.

Bertahun-tahun kondisi ini menyelimuti ALS. Banyak pengemudi dan kernet alih profesi akibat tidak tahan dengan kenyataan dihadapi. Belum lagi biaya perawatan yang cukup mahal, baik suku cadang mesin maupun ban.

“Kalau tidak setor ke toke sudah hal biasa. Bahkan, kami pulang ke rumah terkadang tidak bawa uang. Uang jalan saja cukup sudah syukur. Anda bisa bayangkan, tapi kami tetap bertahan dengan harapan ada perubahan,” kata seorang sopir yang enggan ditulis namanya.

Kondisi ini tentu saja berdampak pada kebijakan pihak perusahaan dan pemilik armada. Peremajaan armada baru menjadi terhalang. Bahkan sejumlah bis yang body-nya sudah keropos tetap dipaksakan beroperasi.

Kita memahami begitu berat persoalan yang dihadapi perusahaan ini agar tetap bisa bertahan dalam beberapa tahun terakhir. Mau tidak mau, “pil pahit” itu harus ditelan para kru dan pemilik armada, yang notabene kebanyakan berasal dari Madina.

Regulasi pemerintah dalam mengatur dunia transportasi seakan tidak berpihak terhadap moda angkutan darat. Bahkan terkesan tidak ada aturan yang jelas, sehingga para operator maskapai semaunya banting tarif.

Namun, sejak sekitar dua bulan ini angin segar seakan berhembus pada moda angkutan darat akibat kenaikan tarif tiket pesawat. Jika tadinya tiket Lion Air Padang-Jakarta, misalnya, sekitar Rp400 ribu-Rp700 ribu, sekarang sudah di atas Rp 1 juta.

Belum lagi barang bagasi dalam jumlah tertentu harus bayar, bahkan untuk barang bawaan penumpang di kabin pun tidak seleluasa dulu. Hal ini tentu banyak menimbulkan keluhan dari masyarakat, bahkan ungkapan kekecewaan itu beberapa kali viral di media sosial.

Kebijakan tersebut setidaknya memberi secercah harapan bagi kelanjutan operasional moda transportasi darat, termasuk ALS. Sejak jelang libur Natal dan Tahun Baru 2019 lalu, jumlah penumpang mengalami peningkatan signifikan. Banyak masyarakat yang hendak bepergian dari Pulau Sumatera ke Pulau Jawa (demikian sebaliknya) berubah haluan, dari yang biasanya naik pesawat beralih ke ALS.

“Lumayan selisih ongkos naik pesawat dengan bis. Sekarang mending naik bis. Jatah ongkos pesawat kan bisa untuk tambah-tambah biaya sekolah anak,” kata Yunan (58), warga Siabu, Madina, ketika ditemui di Loket ALS Landang Sari, Panyabungan.

Pengakuan seperti dikatakan Yunan semestinya harus benar-benar dimanfaatkan manajemen ALS dengan melakukan perbaikan pelayanan terhadap penumpang. Jadikanlah penumpang itu raja agar selama perjalanan—biasanya—berhari-hari menjadi sesuatu yang menyenangkan.

Jika kita jujur, dibanding pelayanan yang dilakukan awak bis dari Jawa menuju Sumatera, seperti Lorena, Putra Remaja, Rosalia Indah, Puspa Jaya, dan lainnya,  secara umum pelayanan awak ALS paling rendah. Sopir dan kernet bis Jawa umumnya sangat menghormati penumpangnya. Penumpang benar-benar merasa “dimanusiakan.”

BERITA TERKAIT  Pemkab Madina Bakal Bangun Pasar Moderen di Sinunukan

Sebagai contoh, jika ada kaki penumpang yang berada di gang antar kursi di dalam bis, ketika sopir dan kernet bis Jawa mau lewat, mereka pasti minta izin, misalnya menyebutkan, “maaf pak” atau “amit (maaf) pak”.

Tidak begitu saja melangkahi kaki tersebut. Ini contoh kecil, yang bagi sebagian besar orang Jawa hal-hal seperti ini sesuatu yang sangat penting. “Punten,” ujar orang sunda.

Secara umum hal seperti itu jarang, dilakukan oleh awak, terutama kernet ALS. Sebagian kernet ALS terkadang semaunya membentak penumpang. Apalagi mereka tahu si penumpang  tidak mengerti bahasa Mandailing.

Jika ada sesuatu yang tidak berkenan di hati si kernet, biasa terdengar kalimat umpatan, misalnya, (maaf), “Te ho, keimajolo mit, atau babamu.” Ucapan ini biasanya dikatakan sembari berlalu, dan dengan volume suara kecil.

Bukan itu saja, terkadang sesama awak bis ketika bercanda atau sedang menelepon juga sering terdengar kata-kata kotor. Sebut saja, (maaf lagi), urutmu, temu, bodat, babiat, dan sebagainya.

Belum lagi soal menjaga barang penumpang tetap aman, bis bocor saat hujan,  AC kurang dingin, penumpang merokok, keramahan kru bis,dan lainnya.

Inilah adalah bagian dari koreksi kami sebagi masyarakat Sumut yang tetap bangga atas keberadaan ALS. Tentu saja, ini demi perbaikan pelayanan pihak ALS agar masa kejayaannya menggema kembali.

Momentum beralihnya masyarakat naik moda angkutan darat hendaknya dijadikan sebuah kesempatan menarik simpatik para penumpang. Menjadikan ALS sebagai moda angkutan yang nyaman, menyenangkan, dan menggembirakan.

Sebab, bagi sebagian orang tingginya ongkos tranportasi tidaklah menjadi persoalan, asalkan dia mendapatkan kenyamanan. Tetapi jika mereka bisa mengirit ongkos dengan tetap mendapat pelayanan yang baik, tentu ALS tetap jadi pilihan.

Jangan sampai ada kalimat, “Manyota dei ate-ate niba manaek ALS, padiar godang argana, naek pesawat masongoni.” Jika ini terjadi, maka semahal apapun tiket pesawat, sepanjang uangnya cukup dia akan meninggalkan bis kebanggaan masyarakat Sumut ini.

Apalagi sekarang ini alternatif alat transportasi  menuju Jakarta, misalnya, bukan hanya bis atau pesawat. Sudah banyak travel “liar” melayani angkutan menuju ibu kota.

Ini hanya sekadar koreksi agar ALS tetap maju seiring perkembangan masa, bahkan sekalipun tarif pesawat murah.

Semoga kejayaan itu terulang kembali. Bagaimana pun ALS milik kita, kebanggan kita, yang atas keberadaannya sejak tempoe doeloe banyak menelorkan putra Sumut berhasil di perantauan. (akhiruddin matondang)

BERBAGI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here