PANYABUNGAN, BERITAHUta.com—Setiap tahun Kabupaten Mandailing Natal (Madina), mendapat CSR (Corporate Social Responsibility) dari Bank Sumut sekitar Rp400 juta. Jumlah itu tergolong besar, sesuai jumlah penyertaan modal pemkab setempat di bank tersebut.
Direktur Utama (Dirut) PT Bank Sumut Rahmat Fadillah Pohan mengatakan jika penyertaan modal suatu kabupaten/kota kecil, maka CSR yang didapat otomatis kecil. “Kalau Madina, hak CSR-nya sekitar Rp400 juta,” katanya.
Dana penyertaaan modal Pemkab Madina di Bank Sumut saat ini termasuk besar, berada pada posisi urutan keenam terbesar di antara kabupaten/kota lainnya.
Rahmat menjelaskan hal itu ketika diminta anggota DPRD Sumut dari daerah pemilihan (Dapil) 7 ikut dalam pertemuan dengan Bupati H.M. Ja’far Sukhairi di aula kantor bupati setempat pada, Selasa lalu (21/6-2022).
Hadir juga pada kesempatan itu, Wakil Bupati Atika Azmi Utammi, pimpinan organisasi perangkat daerah (OPD), baik dari Pemkab Madina maupun Pemprov Sumut.
Kehadiran Rahmat pada pertemuan itu hanya secara kebetulan. Pada waktu hampir bersamaan dia ada agenda di kunjungan di kantor bupati Madina. “Ini juga penting, silakan masuk saja dulu pak dirut,” kata H. Fahrizal Efendi, ketua tim kunker anggota DPRD Sumut dapil 7.
Menurut Rahmat, besar CSR terhadap suatu kabupaten/kota ditentukan berdasarkan jumlah saham. Semakin besar kepemilikan saham, makin besar pula CSR didapatkan.
Mengenai mekanisme CSR, kata dia, ada tiga pilar sasarannya. Yaitu, lingkungan, ekonomi dan sosial. Lingkungan, contohnya pengadaan bak sampah, air bersih, dan lainnya.
Ekonomi, seyogianya dalam rangka menumbuhkan sektor-sektor ekonomi kerakyatan. Contoh, komunitas pedagang pasar, klastar persawahan atau petani terjerat rentenir.
“Mereka bisa saja diberikan dalam bentuk modal kerja, misalnya beli bibit, pembelian traktor mini yang bisa digunakan satu desa ke desa lain, atau lainnya. Inilah pilar ekonomi,” jelas Rahmat.
Selain itu, untuk nelayan juga bisa. Misalnya, pengadaan mesin perahu tempel. Prinsipnya, bagaimana membantu masyarakat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Lalu, ketiga: Sosial. Biasanya pihak kabupaten/kota banyak minta porsi alokasi pilar sosial. Misalnya, peruntukan rumah ibadah. Sebenarnya antara rumah ibadah dan pendidikan, lebih baik bidang pendidikan.
Dibanding kemanfaatannya, ujar Rahmat, lebih baik untuk pendidikan. Pemberian komputer atau pemasangan jaringan internet, dan lainnya.
“Sehingga (komputer) lebih banyak dimanfaatkan siswa. Menurut kami itu lebih tepat. Kalau rumah ibadah, contohnya pembuatan toilet atau pengadaan air bersih. Jika dilihat kemanfaatannya, lebih utama pendidikan. Bukan berarti rumah ibadah kami napikan, tetap dilayani sesuai porsinya,” kata Rahmat.
Dia menyebutkan CSR suatu pemkab, pemko atau pemprov sepenuhnya hak mutlak kepala daerahnya. Bank Sumut tidak bisa ikut campur dalam pengalokasiannya. “Kami hanya menyerahkan CSR, lalu yang menyalurkan pemerintah daerah masing-masing,” katanya.
Bank Sumut hanya bisa memberikan CSR yang mereka kelola sendiri. Nilainya tidak terlau besar. Sebagai umpama, laba tahun 2021 Rp 613 miliar. Pihak bank hanya dapat porsi Rp5 miliar. “Dengan CSR Rp5 miliar, berarti proposal yang masuk ke kami harus dipilah-pilah,” sebut Rahmat.
CSR yang dikelola Bank Sumut, kata dia, selalu menjadi rebutan kabupaten/kota yang CSR-nya kecil. “Jika kami punya (CSR 5 prosen), masih diminta, tentu ini sangat dilematis.”
Menurut Rahmat, tidak jarang mereka dihadapkan pada permintaan kabupaten/kota yang tidak masuk dalam satu tiga pilar. Antara lain, pembangunan tugu. “Yang begini kami tak bisa, karena dana kami terbatas. Kalau untuk lingkungan, sosial dan ekonomi tentu saja kami prioritaskan,” tegasnya.
Karena keterbatasan dana CSR, pihak Bank Sumut harus selektif menentukan porsi pembagian dan peruntukannya. Salah satu solusi, meminta CSR pemprov yang cukup besar. Tetapi pihak bank hanya bisa memediasi ke pemprov melalui sekdaprov atau gubernur.
“Tergantung pemprov, kalau diberikan, baru kami kasihkan,” ujar Rahmat. (*)
Editor: Akhir Matondang