BERBAGI
foto: akhir matondang

CATATAN kelam terjadi di Mandailing Natal (Madina), Sumut saat kegiatan karnaval dalam rangka memeriahkan HUT ke-78 Republik Indonesia (RI) tingkat kabupaten. Ini sejarah, lantaran kerusuhan seperti ini baru kali pertama terjadi di Madina. Apalagi sampai ada korban tusukan pisau.

Tak sekadar terkena bacokan, kerusuhan di Jalan Williem Iskandar, Panyabungan, Madina pada, Rabu (16/8/2023) tersebut menyebabkan wajah sejumlah pemuda babak belur dikeroyok kelompok lain. Sungguh miris.  Tadinya ‘panggung’ hiburan, menjadi sesuatu yang menyeramkan. Pesta rakyat, berubah menjadi peristiwa yang menyayat.

foto: akhir matondang

Potret karnaval kali  ini sunggu sangat buruk, bahkan amburadul. Pemkab Madina selaku pelaksana banyak dicemooh, termasuk para guru-guru yang letih mendampingi murid. Hanya saja mereka tak bersuara ‘keras’. Cukup dalam hati, atau bisik-bisik di antara mereka. “Nagaduk madongan sakali on karnaval on, naso ipikirkon kalai dei langa alak on.” Demikian kira-kira pergunjingan di antara mereka.

Sebab itu, buruknya pelaksanaan karnaval kali ini bukan sekadar mesti  ada evaluasi, tetapi panitia harus bertanggung jawab. Soal bentuk sanksi yang bakal diberikan, kepala daerah tentu lebih tahu. Pastinya, kejadian serupa tak boleh terulang pada masa mendatang. Harapan kita, ini kali pertama, dan terakhir.

Bupati Madina selaku pemimpin di daerah ini semestinya tidak alergi menerima masukan dari siapapun. Jangan dikit-dikit, “Umboto dei au dabo i.” Tidak baik kalimat seperti ini terucap dari seorang pemimpin. Saran atau pendapat dari siapa pun, jika baik, harus diterima. Bupati tak boleh alergi kritik, sebab dari kritikan itu bisa introspeksi diri untuk kebaikan.

Kepala daerah juga harus bisa memilih dan memilah mana staf yang ABS (asal bapak senang), mana suka carmuk (cari muka), dan mana yang benar-benar ikhlas membantu tugas bupati dan wakil bupati menjalankan program mewujudkan visi dan misi saat pilkada.

Pada kesempatan ini, saya coba memberikan saran kepada Pak Bupati terkait pelaksaan karnaval pada tahun-tahun mendatang. Harapannya tentu supaya lebih baik, lancar, dan tidak ada kucuran darah lagi pada kegiatan karnaval.

Ini pendapat saya. Jika ada di antaranya dapat diterima, semoga berkah bagi kita semua. Jika tidak, lupakan saja. Pastinya, in syaa Allah niat saya baik.

Ini sarannya:

PERTAMA. Evaluasi waktu pelaksanaan karnaval. Bukankah setiap 16 Agustus ada Paripurna Istimewa mendengarkan pidato kenegaraan Presiden RI dalam rangka menyambut HUT RI. Dengan kata lain, tidak ada kegiatan lain yang bisa dilakukan bupati, wakil bupati, Forkopimda, anggota dewan dan jajaran pemkab kecuali mengikuti agenda nasional tersebut di gedung legislatif sampai sekitar pukul 12.00.

Bahkan, masyarakat juga diminta mengikuti kegiatan tersebut melalui siaran langsung TV nasional dan live streaming di You Tube. Deal, kegiatan karnaval dalam rangka HUT RI tak bisa dilaksanakan lagi pada, 16 Agustus, sebelum pukul 12.00.

KEDUA. Saya tak tahu apa dibenak bupati ketika memberikan izin kepada panitia menyelenggaran karnaval pada 16 Agustus 2023. Padahal sudah tahu paling tidak sampai pukul 10.00—jika cepat selesai– dia harus berada di gedung dewan.

BERITA TERKAIT  Meritokrasi di Pemkab Madina, Jangan Sampai Lebih Banyak “Kambing” daripada “Sapi” (Bagian:3)

Apalagi waktu karnaval dijadwalkan mulai pukul 09.00. Jika kita berburuk sangka, jangan-jangan bupati ingin ‘menjemur’ peserta karnaval dan warga sampai selesai acara paripurna. Tentu hal ini tidak mungkin. Itulah sebabnya, panitia harus diberi sanksi tegas karena mereka seolah ada upaya menjerumuskan kepala daerah. Mereka lupa, sekecil apapun kesalahan dilakukan pemkab, muaranya tetap terhadap bupati. Sudah tahu bupati dan jajaran ada acara rapat paripurna istimewa, eh masih buat jadwal di tempat lain pada waktu bersamaan.

KETIGA. Soal waktu pelaksanaan. Suatu saat bupati pernah mengatakan jika karnaval dilaksanakan sore, memungkinkan salat azar peserta dan warga tinggal. Nah, kalau siang,  jadinya seperti pelaksanan, Rabu (16/8/2023). Saat azan zuhur berkumandang, seolah tak ada yang peduli. Semua fokus pada kegiatan karnaval.

foto: akhir matondang

Menurut saya, soal salat, karnaval pun jika memang seseorang itu mau salat, pasti dia salat. Jika tidak tepat waktu, qodho. Sebaliknya, tidak karnaval pun, jika memang dia tak ingin salat, ya tak salat. Jadi tergantung pada kadar keimanan dan ketakwaan seseorang.

Solusinya, kalau memang mau dilaksanakan 16 Agustus, waktunya bisa start sekitar pukul 16.00 dan harus sudah selesai paling lama pukul 18.00. Asumsinya, waktu untuk melaksanakan salat zuhur masih panjang. Bahkan, azar pun masih memungkinkan ditunaikan sebelum start. Jika tak cukup waktu, bisa setelah kegiatan, antara pukul 18.00 sampai 18.30.

KEEMPAT. Batasi peserta karnaval. Dengan jumlah peserta yang banyak seperti pelaksanaan tahun ini, selain terlalu melelahkan peserta, warga yang menonton juga jenuh. Waktu mereka habis tersita hampir seharian hanya untuk menonton karnaval.

Hendak ditinggal, masih mau lihat penampilan anak atau famili.  Padahal yang disajikan dalam karnaval begitu-begitu saja. Ada kesan kurang variatif. Warga sebenarnya disuguhi atraksi membosankan. Meski begitu, karena masyarakat butuh hiburan dan ini pesta rakyat,  tetap ditonton. Bahkan sampai duduk bersila di jalur pembatas jalan dalam terik matahari, tak menjadi masalah. Lihatlah, pada pelaksanaan terakhir ini, peserta dan warga sampai dijemur delapan jam pun, mereka kuat meskipun sebenarnya kita miris.

Dari subuh sebagian di antara mereka sudah ke salon. Pukul 07.00 sudah ada yang tiba di sekitar tempat start. Apa hasilnya, badan mereka (mungkin) meriang karena terik matahari, perut sakit akibat terlambat makan dan lainnya. Belum lagi banyak yang pingsan. Bahkan pakaian mereka robek, sepatu rusak. Padahal seragam mereka pakai dapat beli harga mahal atau sewa.

LIMA. Bagaimana cara membatasi peserta. Sudah saatnya dibuat formulasi baru. Karnaval tingkat kecamatan dilaksanakan lebih cepat, antara 12-14 Agustus. Dua atau tiga peserta terbaik di tingkat kecamatan, berhak mewakili kecamatan itu tampil di tingkat kabupaten di Panyabungan, yakni: 16 Agustus.

BERITA TERKAIT  Refleksi Akhir Tahun 2018 “Beritahuta.com”,  Bupati Mendukung, Awas Tersandung?

Berikan mereka uang transport dan konsumsi. Tentu, kami orang Panyabungan ingin juga menyaksikan kepiawaian dan penampilan ‘anak’anak’ kecamatan lain. Ini sekaligus menjadi motivasi bagi setiap peserta di kecamatan agar tampil lebih baik.

Soal dana, saya percaya pemkab bisa cari solusi. Sekadar contoh, dana cetak banner, beli kayu, dan upah pasang foto bupati, wakil bupati, ketua dewan, ketua TP-PKK, dan anggota Forkopimda seperti kita lihat bertabur di Panyabungan dalam beberapa hari terakhir bisa dialihkan untuk pengganti atau subsidi transport dan makan peserta dari kecamatan.

Saya kira foto-foto tersebut tak begitu penting sampai  sebanyak seperti kita saksikan sekarang. Cukup sekali ini sajalah, sebelum ada kritik pedas dari masyarakat sebagai bentuk penghamburan anggaran.

Tahun depan, seperti yang sudah-sudah saja, cukup beberapa billboard di beberapa tempat. Disitulah ucapan Dirgahayu RI dari bupati, wakil bupati, ketua TP-PKK, ketua dewan, dan anggota Forkopimda. Dalam billboard itu, juga ditampilkan foto mereka.

Bagaimana dengan Kecamatan Panyabungan, tidak beda dengan kecamatan lain. Ikut mengadakan karnaval tanggal 12-14 Agustus di pusat Kota Panyabungan. Soal jumlah pemenang mewakili kecamatan, bisa saja ditambah sepantasnya dengan mempertimbangkan ketersediaan waktu.

foto: akhir matondang

ENAM. Harus ada regulasi yang jelas terkait keikutsertaan kelompok naposo dan nauli bulung atau komponen masyarakat. Jika yang ditampilkan tidak ada unsur kreatifitas, lebih baik ditolak. Jadi, tidak sembarang kelompok bisa ikut karnaval. Betul-betul dibuat suatu karnaval bermarwah dengan mengedepankan seni dan budaya daerah. Kerusuhan yang terjadi pada, Rabu (16/8/2023), menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, khususnya jajaran pemkab.

TUJUH. Ini penting. Bupati dan dan pejabat daerah lainnya harus sudah siap di tempat yang ditetapkan tepat waktu. Pengalaman pada masa lalu, sang kepala daerah belum datang, sementara peserta sudah start. Akhirnya, mereka yang sudah start menunggu di sepanjang jalan. Ini tidak boleh terjadi jika hendak memanfaatkan waktu seefisien mungkin.

Itulah secara garis besar. Soal teknis, pastilah bapak-bapak pejabat pemkab lebih tahu. Intinya, perlu ada pembenahan pelaksanaan perayaan HUT RI tingkat Madina. Tidak ada lagi Expo Ekonomi Kreatif Madina, tetapi isinya tak sekeren nama kegiatannya.

Libatkan semua yang punya produk ekonomi kreatif. Di Gallery Narisya, misalnya, ada kaos-kaos khas daerah, ada batik Mandailing yang jelas termasuk produk UMKM. Lalu,  pernah enggak terpikirkan oleh panitia melibatkan Narisya. Sekali lagi, ini sekadar contoh.

Jangan-jangan ada pejabat daerah mau buat batik Mandailing juga. Kalau memang betul, dia itu pastilah masuk golongan serakah. Jangan-jangan juga figur seperti dia inilah yang disebut masyarakat Mandailing: durung lamot. Artinya besar diambil, kecil disikat. Ia tak memikirkan orang lain juga perlu makan dan menyekolahkan anak…

17 Agustus 2023, Merdeka!!!

Akhiruddin Matondang

 

BERBAGI