SEPERTI disebutkan pada bagian pertama tulisan ini, Pemkab Madina dan dewan mengabaikan ketentuan yang tertuang dalam Permendagri Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Dalam lampiran permendagri itu, pada poin IV (1) disebutkan, kepala daerah dan DPRD wajib menyetujui bersama RAPBD 2019 paling lambat satu bulan sebelum dimulai tahun anggaran tersebut.
Poin inilah yang sangat ditakuti pihak eksekutif dan legislatif, sebab sesuai pasal 312 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dan DPRD wajib menyetujui bersama RAPBD paling lambat satu bulan sebelum dimulai tahun anggaran setiap tahun.
Ayat (2) jelaskan, DPRD dan kepala daerah yang tidak menyetujui bersama rancangan Perda tentang APBD sebelum dimulai tahun anggaran setiap tahun sebagaimana dimaksud ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan selama enam bulan.
Sementara ayat (3): sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dikenakan kepada anggota DPRD apabila keterlambatan penetapan APBD disebabkan oleh kepala daerah terlambat menyampaikan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD dari jadwal yang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lalu siapa aktor dibalik dagelan pengesahan APBD Madina 2019. Jika benar legislatif sudah menulis surat sebanyak tiga kali ke pihak eksekutif agar segera menyampaikan nota RAPBD 2019, tentu bisa diduga skenario keterlambatan berada di tangan pemkab.
Seorang penelopon mengaku warga “bodoh” Madina memberi komentar pada tulisan berjudul “Dagelan APBD Madina 2019 (1), Anggaran Rp1,7 Triliun Hanya Dibahas Tak Lebih dari Satu Hari”. Menurutnya, pemkab sengaja mengulur-ulur waktu penyerahan RAPBD agar dewan tidak ada waktu membahasnya.
Para OPD, kata dia, tidak ingin anggaran yang mereka ajukan dirubah pada saat pembahasan di tingkat komisi. Terutama menyangkut anggaran perjalanan dinas dan kegiatan satker. “Mereka mau seenaknya mempermainkan anggaran. Bahkan, ini terkait juga dengan target Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi OPD yang memiliki potensi mendulang PAD,” jelasnya.
OPD enggan diberi target PAD terlalu tinggi. Semestinya jika dilakukan pembahasan antara satker dan komisi-komisi di dewan, target PAD yang diajukan eksekutif bisa dipelajari: apakah logis atau tidak.
Pengalaman di sejumlah kabupaten/kota atau provinsi, biasanya usulan target PAD yang diajukan satker tidak terlalu muluk-muluk. Nah, disinilah tugas legislatif melakukan pengkajian kepatutan. Tapi jika tidak dibaca, atau dipelajari oleh kedua belah pihak tentu angka yang tertulis di berkas satker terkait dianggap sudah final.
Contoh tersebut mengindikasikan dewan begitu saja mau dikebiri pemkab. Padahal mestinya hal itu tidak terjadi, dengan alasan apa pun. Mekanisme sesuai ketentuan tetap harus dikedepankan.
Jadi sangat wajar jika selama ini masyarakat hilang rasa percaya terhadap peran wakil rakyat dalam memperjuangkan kepentingan daerah, baik itu bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Jika fungsi anggaran yang sangat vital saja diabaikan, bagaimana dengan tugas lain. Padahal waktu paling lama 60 hari dalam pembahasan seperti diamanatkan perundang-undangan bertujuan agar materi RAPBD dibahas secara detail, terutama untuk memastikan anggaran yang diajukan satker sudah mengandung azas efisien dan kepatutan.
Keterlambatan penyampaian nota RAPBD kepada DPRD merupakan pembangkangan kolektif yang dilakukan oleh TAPD Pemkab Madina. Meskipun ini masuk kategori pembangkangan, toh dianggap hal lumrah karena selama beberapa tahun terakhir sudah biasa dilakukan.
Mestinya Badan Anggaran DPRD Madina yang paling bertanggung jawab dalam hal ini. Karena lewat “tangan-tangan” merekalah terbentuk APBD melalui perumusan dengan TAPD.
Dirjen Bina Keuangan Kemendagri Syarifuddin kepada “Koran Jakarta” baru-baru ini mengatakan pengelolaan keuangan daerah perlu memperhatikan pelaksanaan zona integritas, wilayah bebas dari korupsi dan wilayah birokrasi bersih dan melayani serta memastikan pencapaian target reformasi birokrasi 2018 terlaksana dengan baik.
Kemendagri berharap pemda dapat terus meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan daerahnya lebih baik dari tahun ke tahun. Yang terpenting pemda melaksanakan tiga kewajibannya penyelenggaraan pengelolaan kekuangan daerah, yaitu: mengelola dana secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel; menyinkronkan pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat; dan melaporkan realisasi pendanaan urusan pemerintahan yang ditugaskan sebagai pelaksanaan dari tugas pembantuan.
Sejalan dengan itu, pemda harus memenuhi jadwal proses penyusunan APBD 2019, mulai dari penyusunan dan penyampaian rancangan KUA (Kebijakan Umum APBD) dan rancangan PPAS (Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara) kepada dewan untuk dibahas dan disepakati bersama paling lambat minggu pertama Agustus 2018.
Selanjutnya, KUA dan PPAS yang sudah disepakati bersama akan manjadi dasar bagi pemda untuk menyusunan, menyampaikan dan membahas RAPBD 2019 antara eksekutif dan legislatif sampai tercapainya kesepakatan di antara kedua belah pihak paling lambat 30 Nopember 2018 seperti diatur dalam pasal 312 ayat (1) Undang-Undang No.23 Tahun 2014.
Inilah jadwal penyusunan APBD 2019 yang seharusnya sesuai Permendagri Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
- Penyampaian Rancangan KUA dan Rancangan PPAS oleh ketua TAPD kepada kepala daerah, paling lambat minggu pertama Juli (lama satu minggu)
- Penyampaian Rancangan KUA dan Rancangan PPAS oleh kepala daerah kepada DPRD, paling lambat minggu kedua Juli (lama empat minggu)
- Kesepakatan antara kepala daerah dan DPRD atas Rancangan KUA dan Rancangan PPAS, paling lambat minggu pertama Agustus (lama empat minggu).
- Penerbitan surat edaran kepala daerah perihal pedoman penyusunan RKA SKPD dan RKA PPKD, paling lambat minggu kedua Agustus.
- Penyusunan dan pembahasan RKA SKPD dan RKA PPKD serta penyusunan rancangan peraturan daerah tentang APBD, paling lambat minggu kedua Agustus.
- Penyampaian rancangan peraturan daerah tentang APBD kepada DPRD, 60 hari kerja sebelum pengambilan persetujuan bersama DPRD dan kepala daerah. Paling lambat minggu pertama September bagi daerah yang menerapkan lima hari kerja.
- Persetujuan bersama DPRD dan kepala daerah, paling lambat satu bulan sebelum dimulainya tahun ajaran anggaran berkenaan.
Yang jelas, mestinya penyampain RAPBD kepada dewan paling lambat minggu pertama Setember, sementara Pemkab Madina baru menyerahkannya pada minggu keempat Nopember 2018. Bagaimana dengan jadwal lainnya, apakah sesuai atau melanggar? Biarlah para eksekutif dan legislatif yang jawab.
Lantas kenapa dewan mau mengesahkan APBD Madina 2019 yang penuh dagelan ini? Adakah kaitannya dengan dana aspirasi? (Bersambung)
(Akhiruddin Matondang)