BERBAGI
INILAH gambaran sket kantor Pengadilan Agama Panyabungan. A (ruang tamu pintu belakang), B (ruang sidang), C (ruang mediasi), D (ruang sidang), E (meja staf panitera untuk menerima tamu pihak berperkara), F (deratan kursi ruang tunggu bagi yang hendak sidang, tapi sore itu dipakai beberapa staf tempat main tenis meja), G (teras belakang), H (tempat duduk Lian saat diterima Rivi Hamdani), I (meja panjang untuk petugas penerima tamu), J (teras depan), K (kantin), L (musola dan ruang ibu menyusui), dan M (pos jaga yang selalu tak pernah ada penjaga).

BERITAHUta.com—Pengguna media sosial (medsos) mengecam keangkuhan Yunadi, ketua Pengadilan Agama (PA) Panyabungan, Madina, Sumut. Mereka menilai kebijakan  “mengharamkan” pihak berperkara menginjak ruang tamu depan kantor itu sebuah arogansi berlebihan.

“Ini namanya pelayanan yang tidak baik. Jika pun ada larangan tidak boleh dilewati (ruang tamu depan kantor PA  Panyabungan), lalu seberapa besarkah kerugian PA kalau warga bermohon lewat jalur ruangan itu? Dan itu pun karena kondisi cuaca hujan,’ tulis Muhammad Nuh melalui akun facebook-nya.

Warga Panyabungan, Madina (Mandailing Natal), yang juga berprofesi sebagai pengacara itu menulis, “Terkadang kita tidak habis pikir. Seharusnya semua lembaga hukum tahu bahwa aturan itu dibuat untuk mempermudah, bukan mempersulit. Melindungi rakyat, bukan membuat semua dalam kondisi kaku.”

Menurutnya, tulisan Akhiruddin Matondang, memberi pesan kepada semua pihak untuk terus memantau kinerja peradilan ini. “Karena kata ‘adil’ itu meliputi aspek sosial, hukum dan kemanusiaan. Bagaimana mungkin masyarakat mendapat ‘adil’ jika pengelola peradilan tidak bisa menerapkan ketiga aspek itu. Ini realitas yang kita hadapi saat ini.”

Yunadi, ketua PA Panyabungan

Di grup watshapp yang diikuti penulis artikel berjudul “Wahai Ketua Pengadilan Agama Panyabungan, Begitu Angkuhnya Anda…” berbagai komentar pedas bermunculan. “Arogansi murahan, kampungan “ tulis seorang pemilik nomor: 081281193***.

Budayawan Madina, Askolani, lewat akun facebook miliknya menggambarkan dia tak bisa menahan tawa hingga hendak terpingkal-pingkal membayangkan ada orang seangkuh Yunadi. “Haha…ada ternyata orang seangkuh itu. Macam mesin aja dia, kaku. Giot mangkair ulala mambacana (saya mau tertawa membacanya).”

Rouhana Bourzou, seorang pengusaha asal Panyabungan yang tinggal di Jakarta juga mengecam arogansi Yunadi. “Bagus sekali tulisannya, biar mereka itu sadar bahwa mereka digaji oleh rakyat. Jangan sombong dan angkuh, yang beginian nih orang-orang yang mesti dihapuskan dari kampung kita mandailing,” tulis ibu rumah tangga yang baru saja pulang umrah tersebut.

Seorang wartawan yang selalu mengkritisi pemerintahan serta kerap melakukan demonstrasi di kantor penegak hukum, Sakban Azhari malah tak kuasa menahan emosi membaca artikel sang wartawan Beritahuta.com. “Bongkar saja bangunannya. Begitu juga kepala yang sok angkuh itu,” tulisnya.

Tokoh pemuda dan kaum intelektual Madina Moechtar Nasution juga tak tahan untuk memberi komentar. Meskipun disampaikan secara santun, namun rangkaian kata-kata yang ditulisnya begitu menohok Yunadi. “Peraturan yang diada-adakan itu,” tulisnya.

Dari grup facebook “Mandailing Nusantara” antara lain datang dari Ucok Lomang, ”Ibaen dei lokot jugukan nai tu uruti solosi (ditaroh lem di kursinya supaya pantatnya lengket).

BERITA TERKAIT  Terkait Ditangkapnya Anggota DPRD Padangsidimpuan, Partai Tunggu Proses Hukum

Kalimat hampir sama ditulis Risma Nur Jannah Ray,”Haha… sangajo mei so i lem gari dot lem setan (Haha…ia memang pakai lem setan mestinya).

Komentar lain masih banyak, termasuk dari beberapa aktivis mahasiswa dan praktisi hukum menelepon sang penulis. “Saya sudah banyak bertugas di sejumlah kota, baru kali ini ada kantor yang begitu ketat menerapkan aturan. Anehnya, terjadi di mandailing yang begitu kental menerapkan  toleransi,” kata seorang warga yang sedang berperakara di pengadilan itu.

Ia menyebutkan, begitu hinakah para warga yang ingin menyelesaikan masalahnya melalui proses hukum. Tidak adakah penghargaan sedikit pun bagi mereka. “Peradilan agama bukan gratis, bayar dan mahal. Dan, itu dibebankan kepada pihak berperkara,.”

Akhiruddin, penulis artikel itu, mempertanyakan kapabilitas  Rivi Hamdani sebagai seorang pejabat di kepaniteraan PA Panyabungan. “Saya punya catatan banyak tentang rendahnya kinerjanya. Di pikirannya hanya ngemil dan ngopi di kantin, seperti saya lihat diberita,” katanya.

Terkait peristiswa pelarangan terhadap warga berperkara melewati pintu depan untuk memotong jalan menuju areal parkir disebabkan hujan deras, Akhiruddin, menilai hal ini potret arogansi kampungan. “Mungkin pejabatnya baru keluar dari pecahan telur puyuh,” ujarnya.

Dalam tulisannya berjudul “Wahai Ketua Pengadilan Agama Panyabungan,  Begitu Angkuhnya Anda…” yang dimuat di portal: Beritahuta.com, pada Minggu (20/10-2019), disebutkan Kantor PA Panyabungan yang begitu megah dan besar ternyata sangat angkuh.

“Keangkuhan”  tersebut terungkap pada Jumat (18/10). Saat itu sekitar pukul 16.15. Seorang warga yang hendak mengurus berkas perkaranya menjadi korban.

Sore itu Lian, bukan nama sebenarnya, mendatangi kantor PA Panyabungan untuk suatu urusan perkaranya. Ia diterima panitera pengganti bernama Rivi di ruang staf panitera yang berada di ruang tamu lantai satu pintu belakang.

Seperti biasa, masyarakat yang terkait dengan urusan perkara harus lewat pintu belakang kantor. Ketika Lian masih koordinasi dengan Rivi, tiba-tiba hujan turun begitu lebat.

Berselang beberapa menit urusan Lian selesai. Dia duduk sebentar di kursi tempat diterima Rivi. Lian berpikir tak mungkin melewati hujan yang begitu deras sebab mobilnya berada di area parkir halaman depan PA Panyabungan, tepatnya di samping pos jaga pintu masuk halaman kantor ini. Apalagi ia membawa tas berisi berkas-berkas penting.

Saat itu jam kantor sudah mau habis. Sekitar tiga pegawai tampak sibuk bermain tenis meja di ruang tamu pintu belakang, yang berada persis di depan salah satu ruang sidang.

Mengingat kondisi badan Lian sangat sensitif terhadap air hujan, apalagi sedang tak enak badan, dia minta izin kepada Rivi melintas lewat ruang tamu depan untuk menuju pintu depan kantor agar lebih dekat ke kendaraannya.

BERITA TERKAIT  Duh! Sepasang NST Diringkus Polisi Gegara Isap Sabu di Sebuah Gubuk

Namun, Rivi menyebutkan pihak berperkara tak boleh lewat ruang tamu depan, yang jaraknya sekitar 7 meter dari tempat kami berbicara. Lian memohon dengan santun agar ia bisa pulang mengingat hari kian petang sementara hujan tampakn masih lama reda.

Permintaan Lian tak diindahkan. Ia pun sedikit kesal. Apalagi sepatunya masih bersih mengingat waktu dia masuk ruangan itu hujan belum turun. Tidak ada alasan mereka takut lantainya kotor, “Begitu angkuh gedung ini untuk warga berperkara. Bukankah bangunan ini dibangun pakai uang rakyat,” ujar Lian.

Mendengar itu, seorang staf yang biasa menunggu pintu ruangan persidangan menambahkan, “Pihak berperkara tidak bisa pak (lewat pintu depan).”

Rivi, lelaki 30-an tahun,dan dua staf lainnya yang berada di meja panjang staf kepaniteraan hanya memandang Lian. “Tidak bisa pak, ini sudah aturan,” kata Rivi.

Tidak ingin memperpanjang masalah, akhirnya Lian mengalah. Ia meninggalkan tempat duduknya, lalu keluar lewat pintu belakang. Sejurus kemudian dia berdiri sekitar 20 menit di teras pintu belakang menunggu hujan reda.

Karena hujan tak kunjung usai, ia pun nekat melewati derasnya guyuran air sampai pakaian dan tasnya basah.

Jika lewat belakang, jarak menuju lokasi parkir mobil Lian sekitar 70 meter dan tidak bisa lewat sembari berteduh. Sementara, jika lewat teras depan, Lian hanya terkena hujan sekitar 20 meter, karena masih bisa juga melintas lewat emperan depan gedung itu.

Persoalan dialami Lian terkesan sepele, tapi ini menjadi potret begitu angkuh Yunadi, ketua PA Panyabungan menerapkan aturan “mengharamkan”  pihak berperkara menginjakkan kaki lewat ruang tamu depan yang memang kosong melompong. Begitu ketat juga bagi para staf menjalankan aturan. Sama sekali tak ada toleransi mengingat kondisi alam saat itu yang tak mendukung.

Padahal ruang yang hendak dilalui Lian jika diizinkan Rivi hanya sekitar 7 meter sebelum sampai ke pintu teras depan. Itu pun melewati ruang kosong, dan tidak ada siapa-siapa di tempat tersebut.

Begitu kakukah aturan yang dibuat Yunadi sehingga tidak ada toleransi akibat faktor alam. Jika memang aturan mau ditegakkan, adakah aturan di ruang tamu pintu belakang boleh main tenis meja, apalagi pada saat mereka mengangkat meja pingpongnya masih jam kerja. Ini adalah ketidakadilan, keangkuhan, dan kesombongan.  (*)

Penulis: Tim

Editor: Akhir Matondang

BERBAGI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here