DALAM sepekan terakhir di beberapa tempat di sekitar Kota Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumut tampak diberdiri sejumlah tong sampah yang terbuat dari bahan fiber.
Sepintas keberadaan tong sampah fiber (selanjutnya disebut: TSF) warna kuning, oranye dan hijau itu tak ada masalah. Bahkan sebagian masyarakat (mungkin) memberi apresiasi terhadap kinerja Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim) Madina yang punya inisiatif menganggarkan pengadaan barang tersebut pada APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) 2019.
Tiga warna TSF sebagai tanda untuk tempat sampah jenis organik, anorganik dan sampah ekonomis. Sampah ekonomis adalah sampah bernilai ekonomis, yang bisa dijual seperti kardus, plastik serta bahan yang bisa didaur atau barang “manjal”. Bisa juga kategori bahan berbahaya, misalnya: jenis kaca.
TSF antara lain terdapat di sejumlah titik di Jalan Adam Malik, yaitu dari SPBU Pasar Baru Panyabungan menuju jalan lintas timur. Selain itu terdepat di sejumlah tempat di tepi jalan raya lintas barat dari arah Pasar Baru Panyabungan.
Saya tidak tahu atas dasar apa Dinas Perkim Madina punya pemikiran membuat TSF di tempat warga biasa membuang sampah setiap malam atau pagi. Bukankah volume sampah yang dibuang di lokasi tersebut dipastikan tidak akan mampu ditampung TSF.
Apa yang dilakukan Dinas Perkim Madina sangat sulit diterima akal sehat. Terkesan hanya mementingkan “proyek” saja, tanpa mengkaji kepatutan dari TSF tersebut.
Tapi mau apalagi. Begitulah yang selalu dilakukan hampir semua satker di lingkungan Pemkab Madina. Ada anggaran pembangunan kantor Dekranasda, tapi bangunannya tak berfungsi optimal. Ada tempat rumah potong hewan, namun tinggal menunggu waktu jadi “bangkai”.
Lihatlah air “muncrat” di depan Masjid Raya Walqurra Walhuffas Panyabungan yang sekarang sudah tidak terawat. Pandanglah tiang lampu di taman pembatas jalan di depan toko Narisya, Pasar Lama, Panyabungan yang sudah berhari-hari “tidur” di atas pembatas jalan tersebut.
Tak seorang pun dari satker yang membangun lampu taman tersebut peduli. Tidak ada yang mau tahu, sebab pemangku kebijakan di masing-masing satker hanya fokus pada pengadaan atau proyeknya saja. Soal bermanfaat atau hanya bertahan beberapa bulan, itu urusan belakang.
Sangat jarang di antara mereka ada yang mau memikirkan bagaimana membuat program tepat sasaran, ekonomis, lalu melakukan perawatan agar keberadaan proyek dana APBD benar-benar bermanfaat terhadap masyarakat.
Hal ini pula yang terjadi dengan proyek TSF. Parahnya, patut diduga Dinas Perkim tidak berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup Madina tentang rencana “proyek” mereka tersebut.
Jika sebelumnya di antara kedua satker sudah koordinasi, mestinya Dinas Lingkungan Hidup memberi tahu letak titik-titik atau lokasi yang pantas di pasang TSF.
Nyatanya lain. Hampir semua lokasi pemasangan TSF yang ditentukan Dinas Perkim tidak pantas, bahkan ada kesan dipaksakan. Alasan pertama, volume sampah yang dibuang warga di tempat itu cukup tinggi sehingga jumlahnya dipastikan tak akan tertampung di TSF.
Kedua, ada juga lokasi TSF tidak di dekat di pintu atau “mulut” gang permukiman penduduk. Alhasil, TSF itu tidak berfungsi sama sekali dan hanya menjadi sekadar hiasan warna-warni di sisi jalan.
Berdasarkan hasil penelitian, untuk kategori kota sedang seperti Panyabungan, setiap orang dewasa menghasilkan sekitar 0,5 kg sampah setiap hari. Jika di sebuah rumah terdapat empat orang dewasa, maka sedikitnya sampah rumah tangga yang dihasilkan dari keluarga itu sekitar 2 kg per hari.
Lalu pertanyaannya, berapa kilogramkah kemampuan TSF menampung sampah warga. Jika patokannya adalah berat, agak sulit menjawabnya. Sebab jenis sampai sangat variatif. Tapi hampir dipastikan, keberadaan TSF lebih cenderung tidak membawa dampak positif bagi proses pengelolaan lingkungan hidup di daerah ini.
Jika dilihat titik-titik lokasi yang dipasang TSF, semua berada di jalan utama yang ramai arus lalu lintas. Bukan di kawasan permukiman penduduk atau perkantoran.
Umumnya warga membuang sampah kesana dengan cara melempar. Sebagian besar di antara mereka pas lewat hendak ke tempat kerja atau aktivitas lain. “Brakkk…” Buang, lalu bungkusan plastik pun bercampur dengan sampah warga lain.
Pertanyaan berikutnya, apakah warga yang hendak buang sampah pakai plastik kresek mau memasukkan “barang” dia ke dalam TSF yang kita tahu lubangnya tak terlalu besar.
Kalaupun warga disiplin memasukkan sampahnya ke TSF sesuai jenis sampai, mampukah TSF menampung jumlah sampah yang biasa dibuang di titik tersebut. Tentu saja tidak. Kecuali mobil truk pengangkut sampah milik Dinas Lingkungan Hidup Madina datang setiap satu jam untuk mengambil isi TSF.
Jika tidak, dipastikan sampah yang biasanya menggunung di lokasi itu akan berceceran di sisi jalan. Bisa jadi pemandangannya makin tidak enak dilihat dibanding sebelum TSF ada.
Keberadaan TSF juga menambah persoalan baru bagi petugas pengangkut sampah. Untuk mengeluarkan sampah dari dalam tong, mereka harus merogoh secara manual sebab TSF sudah ditaruh secara permanen.
Bisa dibayangkan begitu sulit mengambil “bungkusan” yang berada paling bawah. Belum lagi jika plastik tempat sampah robek, dapat dipastikan waktu yang diperlukan petugas untuk mengumpulkan sampah dari titik tersebut menjadi bertambah.
Aneh memang proyek Dinas Perkim Madina ini. Kenapa juga Dinas Lingkungan Hidup tidak punya nyali mempersoalkan pos kegiatan ini pada saat pembahasan. Ah, pembahasan apa pula?
Saya baru sadar di daerah ini nyaris tidak ada pembahasan RAPBD sesuai mekanisme yang seharusnya. Semua diluar kewajaran. Satker semaunya menyusunan program, dan dewan bertugas sebagai tukang ketok palu.
Jadi boleh dikatakan tidak ada pembahasan yang signifikan. Apalagi pihak Bappeda dan dewan tahu jika pimpinan satker dekat dengan kepala daerah, mana ada yang berani mempersoalkan anggaran atau program yang diusulkannya. Tidak terkecuali soal TSF ini, sebab sang kepala dinasnya saat itu sangat dekat dengan bupati.
Pengalaman seperti ini hendaknya menjadi catatan bagi para anggota dewan yang hendak dilantik agar pada periode masa kerja mereka nanti tidak ada lagi usulan program yang tidak dibahas sesuai mekanisme yang sebenarnya.
Kalau saja para wakil rakyat melaksanakan tugasnya dengan baik, tentu saja proyek TSF ini tidak akan lolos dari pintu Dinas Perkim.
Kalau saja dewan tahu jika TSF pantasnya ditaruh di pusat perbelanjaan, perkantoran, pendidikan dan tempat-tempat ibadah, paling tidak mereka memberi catatan mengenai penempatan TSF.
Pantaskah proyek Dinas Perkim Madina ini disebut “abal-abal”, biar masyarakat yang menilai. (*)
Penulis: Akhiruddin Matondang