PEMUNGUTAN suara ulang (PSU) Pilkada Mandailing Natal (Madina), Sumut 2020 yang dilaksanakan, hari ini, Minggu (13/12-2020), di TPS 001 Desa Huta Tinggi, Kecamatan Panyabungan Timur, Madina salah satu bukti nyata begitu bobroknya pelaksanaan pemilihan bupati dan wakil bupati di kabupaten ini.
Dalam surat KPU Madina No.2284/PL.02.6-SD/1213/KPU-Lab/XII/2020 tanggal 12 Desember 2020 tentang Pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang tidak disebutkan alasan digelarnya PSU tersebut.
Surat itu hanya ditulis PSU berdasarkan, pertama: surat Panwaslu Panyabungan Timur No. 80/K.SU-11.16/KP.01.00/12/2020 tanggal 11 Desember 2020 perihal Rekomendasi Pemungutan Suara Ulang.
Kedua, Keputusan KPU Madina No. 2281/PL.02.6-Kpt/1213/KPU-Kab/XII/2020 tentang Pemungutan Suara Ulang pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Mandailing Natal Tahun 2020.
Terlepas apupun alasan PSU di TPS 001 Huta Tinggi, tentu ini patut diduga bagian dari persekongkolan kejahatan demokrasi dalam Pilkada Madina 2020.
Lihatlah angka perolehan yang didapat ketiga paslon (pasangan calon) pada pencoblosan 9 Desember 2020 sesuai data Si Rekap KPU: paslon No.1 = 1 suara, No.2= 225 suara, dan No.3=3 suara. Pertanyaannya, kenapa angka perolehan paslon 1 dan 3 sama dengan nomor urut paslon tersebut. Apakah ini sengaja seolah ngeledek atau faktor kebetulan.
Satu lagi yang agak janggal, seperti diketahui partisipasi pemilih pada Pilkada Madina 2020 hanya sekitar 60-70 prosen, kenapa di TPS 001 Huta Tinggi angka pemilih bisa mencapai 100 prosen. Jumlah DPT TPS ini: 229 (laki-laki:115 dan perempuan: 114).
Mungkin, dari semua gelaran pilkada serentak 2020 di Indonesia, TPS 001 Huta Tinggi-lah satu-satunya TPS yang dihadiri 100 prosen dari jumlah DPT (daftar pemilih tetap) dalam TPS ini dan angka perolehan salah satu paslon begitu mencolok, serta nomor urut dua paslon sama dengan angka perolehan suara paslon tersebut.
Padahal konon ada masyarakat Huta Tinggi tidak bisa ke TPS karena sedang di ladang, kebun, kerja, penjara, merantau, bahkan ada yang sudah meninggal.
Pada pemilu legislatif (pileg) 2020 lalu, di TPS 001 Huta Tinggi juga digelar PSU. Menurut KPU Madina, saat itu alasan diadakan PSU karena pembukaan kotak suara tidak sesuai UU No.7/2017 pasal 372 ayat 2 huruf a.
Semestinya Gakkumdu tak boleh diam menyikapi persoalan Huta Tinggi. Apalagi ada indikasi di desa lain juga hal seperti ini terjadi.
Misalnya, di Desa Banjar Lancat, Panyabungan Timur, Madina. Dari dua TPS di desa ini, jumlah DPT total 144. Sedangkan perolehan suara paslon No.1=5 suara, No.2=125 suara, dan No.3=14 suara. Total 144 suara, juga ikut memilih 100 prosen sesuai jumlah DPT.
Perlu dicatat, data sementara ada dua TPS di Panyabungan Timur yang dihadiri 100 prosen dari DPT di TPS tersebut.
Mungkin sebagian kalangan melihat hal ini wajar di era kebebasan berdemokrasi. Tapi kalau saya lihat angka perolehan itu kurang logis. Karena satu-satunya paslon yang datang sosialisasi di desa paling ujung Panyabungan Timur tersebut hanya paslon No.3.
Kala itu ikut juga mendampingi mudir Musthafawaiyah Purba Baru. Saking jeleknya jalan, mereka ke sana terpaksa menggunakan mobil offroad. Masyarakat pun begitu bangga desanya yang terpencil dan terisolir, didatangi tim paslon No.3.
Bahkan salah seorang alumni “Purba Baru” sempat menjamu rombongan paslon No.3 dengan sajian durian.
Lalu, sebagian besar warga Banjar Lancar merupakan alumni Musthafawiyah dan 90 prosen generasi muda di desa ini sekarang sekolah di pesantren itu. Ini tentu saja hanya hitungan politis saya saja melihat kejanggalan angka itu.
Apakah pilihan masyarakat Banjar Lancat memang sesuai hati nurani, ada oknum yang “bermain” atau mereka bagian korban politik uang. Perlu dicatat, sementara sesuai data ada dua TPS di Panyabungan Timur yang dihadiri 100 prosen dari DPT di TPS tersebut.
Sebab sudah rahasia umum jelang hari-H pencoblosan pada 9 Desember 2020, uang “bertaburan” di tengah masyarakat. Aparat desa, aparat kecamatan sampai aparat Pemkab Madina diduga ikut terlibat memenangkan salah satu paslon.
Pun semua orang tahu dana BLT (bantuan langsung tunai), PKH (program keluarga harapan), DD (dana desa) serta program sosial pusat lainnya diduga dimanfaatkan salah satu paslon Pilkada Madina untuk “mendoktrin” masyarakat agar memilih pasangan tersebut.
Lalu apa pekerjaan Panwaslu dan Bawaslu. Ini tak bisa didiamkan. Lembaga ini harus diaudit. Seperti halnya pileg 2019, dalam pilkada ini pun mereka seperti “macan ompong”.
Akademisi Universitas Islam Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin mengatakan, praktik politik uang dalam pelaksanaan pemilu kerap digunakan.
UU Nomor 10/ 2016 maupun UU Nomor 7/2017 secara tegas menyebutkan, segala bentuk pemberian uang atau materi kepada pemilih yang sifatnya memengaruhi pemilih adalah perbuatan yang dilarang dan dapat dikenai sanksi berupa pidana, denda dan diskualifikasi.
Dampak politik uang dalam pesta demokrasi mampu mengubah pola pikir masyarakat yang awalnya mencari sosok pemimpin yang berkualitas dan berintegritas menjadi hilang. Berganti dengan pola pikir pragmatis yang semata-mata karena nilai ekonomis.
“Praktik politik uang ini apabila tidak ditangani secara serius berdampak pada semakin tingginya biaya politik. Hal ini juga berakibat para pelaku politik uang itu sendiri. Dimana apabila terpilih, akan mendorong mereka untuk bertindak korupsi,” kata Ujang kepada Fajar Indonesia Network (FIN) di Jakarta, baru-baru ini.
Praktik politik uang harus terus dilawan sebab menjadi cikal bakal tumbuhnya praktik korupsi. Politik uang adalah perilaku antidemokrasi dan melanggar UU.
Anggapan masyarakat bahwa politik uang adalah hal lumrah dalam pesta demokrasi harus dibuang jauh-jauh. Semua pihak perlu menabuh genderang perang melawan politik uang.
Tolak kejahatan demokrasi, dan sekarang ketika indikasi-indikasi itu sudah jelas di depan mata maka pihak-pihak terkait jangan “tutup mata”.
Gakkumdu harus beregerak. Ada kotak suara tak disegel, tapi hal ini dianggap sesuatu yang biasa.
Padahal Bawaslu bersama Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung (Kejagung), sudah menerbitkan Peraturan Bersama Sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu) Pilkada 2020.
Sentra Gakkumdu merupakan gabungan antara Bawaslu, Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung yang bertugas menindak dugaan pelanggaran dalam gelaran pemilihan umum. Sebagai bagian integral dari sistem keadilan pemilu, Gakkumdu merupakan komponen vital yang turut menentukan kesuksesan penyelenggaraan penegakan pemilu pemilihan selama berlangsungnya pemilihan serentak 2020.
Ingat tugas Gakkumdu bukan sekadar soal pakai masker, jumlah massa kampanye, dan mencopot alat peraga kampanye (APK), tapi juga punya kewenangan menjerat siap oknum yang diduga melakukan pelanggaran UU pemilu.
Tadi malam saya sempat berniat melakukan liputan kegiatan PSU Huta Tinggi, pada Minggu pagi ini. Tetapi urung. Saya dapat informasi sejak Sabtu malam (12/12-2020), warga dari luar desa sudah tidak bisa masuk Huta Tinggi karena dijaga naposo bulung.
Begitu ngerinya demokrasi kita di Madina ini, untuk menyaksikan PSU saja kita merasa terancam.
Saatnya “taring” Gakkumdu diuji. Jerat secara pidana dan tangkap siapa pun yang diduga melakukan kejahatan demokrasi di Pilkada Madina.
Inilah momentum yang tepat, itu pun kalau mau Madina kedepan lebih baik.
Penulis: Akhiruddin Matondang