GUBERNUR Sumut H. Edy Rahmayadi tak kuasa menahan amarah begitu tahu banyak pejabat Pemkab Mandailing Natal (Madina) tidak hadir pada saat ia menggelar pertemuan dengan mahasiswa, kepala desa dan pejabat di lingkungan pemkab setempat di Gedung Serbaguna (GSG), Parbangunan, Panyabungan pada, Kamis (13/10-2022).
Bukan hanya kalangan eksekutif, anggota DPRD Madina yang jumlahnya 40 orang tak seorang pun hadir. “Kajari dan Kapolres memiliki kamar tahanan atau penjara, kumpulkan DPRD itu, ya,” kata Edy Rahmayadi kepada Kepala Polres Madina AKBP M. Reza dan Kajari Novan Hadian seperti dikutip dari HayuaraNet.
Letupan kekecewaan gubsu kian memuncak lantaran ia tahu hanya sembilan dari 26 pimpinan OPD (organisasi perangkat daerah) hadir di dalam gedung tersebut. Berarti 17 pejabat eselon dua mangkir.
Berdasarkan absensi yang dilakukan gubernur, camat yang hadir pun hanya sembilan dan 100 orang kepala desa.
Jika dibanding jumlah sebenarnya–dinas/kantor ada 26, camat (23), kelurahan (27), dan desa (377)—angka kehadiran para pejabat dimaksud tidak sampai 50 prosen.
Wajarlah gubernur marah. Bisa saja, mantan Pangkostrad itu merasa ia tidak dihargai mengingat masa jabatannya tak lama lagi berakhir. Tinggal sekitar setahun lagi.
Namun gubernur mengatakan bisa saja pejabat yang tak menghadiri acaranya karena tidak takut terhadap bupati. “Jangan-jangan mereka yang tidak hadir ini tak takut kepada bupati.”
Karena itu, dia minta Bupati H.M. Ja’far Sukhairi Nasution memanggil para kepala dinas yang tak hadir. “Kalau tak becus ganti saja kepala dinas yang tidak hadir. Ganti saja pak Bupati,” tegasnya.
Bagi bupati dan wakil bupati Madina semestinya ucapan Edy Rahmayadi tidak dianggap hal sepele. Harus ada kajian mendalam dan menyeluruh. Bisa jadi gubernur murka karena hal seperti dia alaminya GSG di Madina, tidak terjadi di kabupaten/kota lain di Sumut.
Jika itu betul, berarti disiplin dan loyalitas para pejabat di kabupaten ini sudah pada tingkat mengkhawatirkan. Ada apa sebenarnya dengan mereka.
Ini harus ada evaluasi secara menyeluruh. Apakah ini ada kaitan dengan bisik-bisik yang beredar di berbagai kalangan bahwa ada sejumlah pejabat eselon dua Pemkab Madina ingin mengajukan pindah ke Pemprovsu atau kabupaten/kota lain.
Bisik-bisik itu memang ada, tapi tidak jelas siapa yang mengembuskan. Tidak jelas juga apakah benar atau hanya isu yang dikembangkan pihak-pihak tertentu untuk tujuan tertentu.
Terlepas dari isu itu, bupati dan wakil bupati perlu memanggil para kepala OPD sesuai permintaan gubernur. Pastikan para pejabat masih loyal terhadap pimpinan mereka.
Kita pahami para kepala OPD itu bagian dari ujung tombal keberhasilan pemerintahan Sukhairi-Atika dalam mewujudkan visi misi saat masa pencalonan. Mereka dituntut berkinerja baik, agar capaian sasaran pembangunan berjalan sesuai rencana, baik jangka pendek, menengah dan panjang.
Bagaimana harga kopi bakal melambung seperti diucapkan Sukhairi-Atika pada saat penyampaian visi misi di salah satu aula hotel di Sibolga jika kinerja para pejabat tidak mumpuni.
Bagaimana menghindar dari sistem meritokrasi, jika pengangkatan pejabat tidak lagi berdasarkan kemampuan dan prestasi individu para aparatur daerah.
Kenyataannya, mereka yang dilantik untuk jabatan pelaksana tugas (Plt) atau pejabat definitip setingkat eselon tiga, lebih banyak berdasarkan kedekatan keluarga, latar belakang sosial atau perkawanan, dan lainnya.
Perlu juga menjadi bahan kajian bupati dan wakil bupati, apakah rendahnya loyalitas dan disiplin para pejabat ada kaitan dengan tidak adanya ketenangan mereka kerja akibat diombang-ambing wacana mutasi yang tak pernah terwujud.
Apa betul para pejabat dihantui rasa tak percaya diri mengendalikan instansi yang saat ini mereka pimpin. Waswas jika sewaktu-waktu jabatan yang mereka duduki tiba-tiba copot. Kalau tidak ada jabatan baru, ya non-job.
Dalam sekejap mereka yang tadinya sombong, angkuh dan tak mau berkawan dengan wartawan, misalnya, bakal berubah menjadi ramah, baik, murah senyum dan selalu ingin diskusi dengan para jurnalis.
Perlu juga ditelisik, siapa yang menandatangani undangan para pejabat pada acara gubernur. Sejumlah anggota DPRD Madina yang dihubungi, mengaku mereka tidak ada undangan untuk menghadiri acara gubsu.
Kalau hal itu benar, kenapa bisa terjadi. Bisa saja karena lemahnya koordinasi antara eksekutif dan legislatif di lingkungan Pemkab Madina.
Soal undagan ke para pejabat. Setahu saya, hingga sehari sebelum acara di GSG, Ja’far Sukhairi masih berada di luar kota. Berarti kecil kemungkinan undangan untuk para pejabat diteken bupati.
Siapa pun dan apapun jabatan yang menandatangani undangan, kita berharap dia merenung dan introspeksi diri.
Akhiruddin Matondang